Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komisi XI DPR Minta Pemerintah Perhatikan Efek Simplifikasi Tarif Cukai Rokok

Kompas.com - 25/07/2022, 15:15 WIB
Akhdi Martin Pratama

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritisi kebijakan pemerintah tentang penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok.

Dia menganggap kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Kelobot, dan Tembakau Iris tersebut berpotensi mematikan pabrikan kecil dan menengah.

Misbakhun mengatakan PMK itu menggabungan klasifikasi (layer) sigaret kretek mesin (SKM) golongan IIA dan IIB. Menurut dia, simplifikasi tarif cukai rokok tersebut memaksa golongan yang dihapus naik klasifikasi dan membayar cukai lebih tinggi.

"Hal itu mengakibatkan adanya beban besar pada golongan IIB yang kecil-kecil, tetapi harus membayar tarif lebih tinggi. Ibarat tinju, petinju kelas ringan dipaksa gulung tikar karena diadu dengan lawan kelas berat," ujar Misbakhun dalam keterangannya, Senin (25/7/2022).

Baca juga: Ini Usul DPR dan Pengamat agar Penerimaan Negara dari Cukai Rokok Optimal

Legislator Partai Golkar itu mengaku menerima banyak keluhan dari dari para pengusaha rokok rumahan. Dia menyebut industri rokok kecil naik golongan bukan karena kemampuan, melainkan lantaran dipaksa.

Untuk itu, dia menegaskan industri rokok kecil berkontribusi terhadap penyerapan tembakau dari petani lokal. Jika banyak industri rokok kecil mati, maka tembakau dari petani lokal tidak akan terserap.

"Jadi, kebijakan simplifikasi itu tidak hanya akan memukul industri rumahan, tetapi juga bakal berdampak pada petani tembakau. Ini yang sepertinya tidak dipertimbangkan dalam PMK itu," tuturnya.

Misbakhun menyebut simplifikasi tarif cukai rokok justru berpotensi menyuburkan rokok ilegal. Dia mendasarkan argumennya itu pada data dari Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero).

"Temuan dari Gapero menunjukkan simplifikasi tarif cukai berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal. Kalau simplifikasi itu nanti dijalankan, berarti harga rokok akan makin mahal, tetapi pemasukan negara justru tergerus," katanya.

Misbakhun mencontohkan peredaran rokok ilegal pada 2019 mengalami penurunan signifikan karena pada periode itu tidak ada kenaikan tarif cukai maupun simplifikasi. Pada tahun itu pula industri rokok tumbuh hingga 7,4 persen, sedangkan rokok ilegal turun dari 7 persen menjadi 3 persen.

Baca juga: Struktur Cukai Rokok di Indonesia Dinilai Masih Terlalu Banyak

"Artinya jelas sekali bahwa pemikiran pemerintah untuk menurunkan perokok dengan menaikan tarif cukai itu tidak benar," katanya.

Oleh karena itu, Misbakun punya tiga saran untuk pemerintah. Pertama ialah memberlakukan kenaikan cukai secara multiyear.

"Artinya, kebijakan kenaikan tarif cukai ditetapkan untuk beberapa tahun mendatang, misalnya tiga hingga lima tahun, agar ada waktu bagi pelaku industri hasil tembakau untuk mengatur di internal perusahaan," katanya.

Saran kedua dari Misbakhun ialah memberlakukan kenaikan tarif cukai rokok yang moderat dengan dasar perhitungan yang jelas dan konsisten, seperti inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, industri rokok menghadapi kenaikan tarif cukai selama tiga tahun berturut-turut, yakni 23 persen pada 2020, lalu 12,5 persen pada 2021, dan 12 persen pada 2022.

"Itu sudah luar biasa memberatkan, belum lagi ada kenaikan pajak. Bila perlu tahun 2023 tidak ada kenaikan tarif cukai, sehingga industri rokok mengalami recovery," ucapnya.

Ketiga, Misbakhun mendorong Kementerian Koordinator Perekonomian merumuskan peta jalan (roadmap) kenaikan tarif cukai untuk menunjang kebijakan multiyears.

"Tujuannya demi memberikan kepastian usaha," tutupnya.

Baca juga: Potensi Pajak yang Hilang akibat Rokok Ilegal Capai Rp 53,18 Triliun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com