BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Luno

Sebelum Investasi Aset Kripto, Kenali Dulu Perbedaan Bitcoin dan Ethereum

Kompas.com - 03/08/2022, 18:45 WIB
Yogarta Awawa Prabaning Arka,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Aset kripto kini menjadi salah satu instrumen investasi yang diminati investor, khususnya di kalangan anak muda.

Bicara soal aset kripto, Bitcoin dan Ethereum merupakan dua aset digital yang paling populer saat ini. Keduanya dikembangkan melalui jaringan blockchain.

Perlu diketahui, baik Bitcoin maupun Ethereum diperjualbelikan di bursa kripto dan dapat disimpan di platform dompet digital.

Meski memiliki kesamaan, ada sejumlah perbedaan Bitcoin dan Ethereum yang cukup signifikan. Hal ini patut diketahui oleh calon investor yang hendak berinvestasi pada aset digital. Perbedaan keduanya dapat disimak lewat ulasan berikut.

1. Perbedaan fungsi

Bitcoin dan Ethereum memiliki perbedaan bila dilihat dari segi fungsi. Secara umum, Bitcoin memiliki fungsi sebagai “uang digital”. Karena memiliki nilai yang cukup tinggi di pasaran, Bitcoin dapat digunakan sebagai alat tukar dan instrumen investasi.

Meski demikian, Bitcoin tidak dimiliki oleh perusahaan mana pun. Aset kripto ini juga tidak terikat dengan lembaga keuangan atau perbankan tertentu.

Saat diluncurkan pada 2009, penciptanya, yakni Satoshi Nakamoto, ingin menjadikan Bitcoin sebagai alat yang bisa digunakan untuk bertransaksi dengan mudah di dunia digital. Bitcoin dapat menjadi mata uang alternatif selain mata uang yang selama ini berlaku di dunia.

Baca juga: Cepat dan Mudah, Ini Cara Menukar Bitcoin ke Rupiah untuk Pemula

Sampai saat ini, Satoshi Nakamoto masih menjadi sosok misterius. Baik profil maupun keberadaannya tidak dapat diketahui secara pasti oleh publik.

Sementara itu, Ethereum didirikan oleh enam orang ahli di bidang kripto pada 2014. Mereka adalah Vitalik Buterin, Gavin Wood, Jeffrey Wilcke, Charles Hoskinson, Mihai Alisie, Anthony Di Iorio, serta Amir Chetrit.

Melalui Ethereum, mereka memanfaatkan teknologi blockchain untuk menciptakan sistem keuangan yang tidak terpusat alias decentralized finance (DeFi).

Selanjutnya, Ethereum dikembangkan dengan sistem smart-contract supaya dapat digunakan di berbagai bidang, mulai dari non-fungible token (NFT), perbankan, properti, hingga kesehatan.

Supaya dapat terus beroperasi, Ethereum membutuhkan sumber daya besar supaya teknologi mereka bisa digunakan oleh banyak orang.

Pada 2015, Ethereum meluncurkan token digital bernama Ether (ETH). ETH ini bisa diperjual-belikan sebagai aset digital di bursa kripto. Sebagian keuntungan dari platform ini digunakan untuk menjalankan Ethereum.

2. Jumlah ketersediaan

Selain fungsi, Bitcoin dan Ethereum juga memiliki perbedaan dari segi pasokan. Bitcoin dapat dikatakan sebagai emas digital karena jumlahnya terbatas. Hal ini membuat nilainya cenderung menanjak dalam jangka panjang seiring dengan meningkatnya permintaan dan menurunnya persediaan.

Saat ini, jumlah Bitcoin hanya dibatasi sebanyak 21 juta. Bila sudah habis ditambang, Bitcoin baru tidak akan dirilis untuk menambah pasokan layaknya mata uang.

Baca juga: Ingin Investasi Bitcoin? Gunakan 3 Strategi Berikut agar Aman dan Meminimalisasi Risiko

Sejumlah ahli memperkirakan, Bitcoin terakhir akan selesai ditambang pada 2140. Adapun metode halving digunakan untuk mengontrol sirkulasi Bitcoin.

Melalui metode tersebut, reward yang didapat para penambang Bitcoin akan berkurang setengahnya setiap empat tahun sekali atau setiap 210.000 Bitcoin selesai ditambang. Dengan demikian, ketersediaannya tidak akan cepat habis.

Hal tersebut berbeda dengan Ethereum. Ethereum tidak menentukan batasan spesifik soal jumlah ETH yang akan dirilis dalam jangka panjang. Pasalnya, ETH menjadi salah satu “bensin” yang mendorong operasional Ethereum supaya tetap berjalan. Selama Ethereum masih berfungsi, ETH pun akan terus dirilis.

Meski demikian, Ethereum menetapkan jumlah maksimal ETH yang dikeluarkan setiap tahun, yakni 18 juta.

3. Mana yang lebih ramah lingkungan?

Selama ini, aktivitas penambangan kripto kerap menuai kontroversi karena konsumsi listrik yang tinggi. Hal tersebut berdampak pada tingginya emisi karbon dari setiap penambangan aset kripto.

Seperti diketahui, emisi karbon menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Hal ini membuat aktivitas perdagangan Bitcoin dan Ethereum tak luput dari protes para aktivis lingkungan.

Mempertimbangkan hal tersebut, Ethereum mengubah sistem validasi transaksi mereka yang berbeda dengan Bitcoin.

Baca juga: Mengurangi Risiko Kerugian Investasi Aset Kripto dengan Strategi Dollar Cost Averaging

Sistem tersebut menggunakan algoritma baru yang membuat proses mining ETH jadi lebih efisien. Dengan demikian, emisi karbon yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit.

Itulah sejumlah perbedaan Bitcoin dan Ethereum. Setelah mengetahui perbedaan keduanya, aset kripto apa yang menarik bagi Anda untuk dijadikan instrumen investasi?

Apa pun pilihannya, Anda harus melakukan riset dengan matang dan berinvestasi secara bijak. Jangan lupa, gunakan aplikasi jual beli Bitcoin atau aset kripto lainnya yang legal dan terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), seperti Luno Indonesia.

Dengan Luno, Anda bisa mulai berinvestasi pada aset kripto seharga es kopi, yakni Rp 25.000.

Catatan:

Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kripto, bukan rekomendasi ataupun ajakan investasi. Untuk mengambil keputusan terbaik dalam berinvestasi, harap lakukan riset yang mendalam sesuai kebutuhan Anda dan pahami risiko yang mungkin terjadi dalam investasi kripto.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com