Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

“Mainan” Bernama "Dwelling Time"

Kompas.com - 09/08/2022, 17:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAGI-LAGI dwelling time. Dwelling time lagi-lagi. Isu ini kembali mencuat dalam diskursus bisnis terminal peti nasional. Media melaporkan, DT (begitu para praktisi kepelabuhanan menyebut istilah tersebut) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, naik dari indikator yang sudah ditetapkan oleh pemerintah belum lama ini.

Sebagaimana biasa, sejurus kemudian muncullah berbagai pendapat dari stakeholder kemaritiman mengomentari masalah itu. Ada beberapa pendapat terkait tingginya dwelling time di pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut.

Kelompok pertama menyebut tingginya aktivitas ekspor-impor sebagai faktor pemicunya. Ada pun yang kedua menilai DT tinggi disumbang oleh libur panjang Idul Fitri selama Mei lalu, sementara kenaikan indikator tersebut pada bulan berikutnya (Juni) disebabkan oleh gangguan jadwal kapal yang terjadi di dunia internasional.

Baca juga: Penasaran Dwelling Time di Atas 3 Hari, Menhub akan Datangi Tanjung Priok

Tingginya angka dwelling time yang menjadi buah bibir komunitas kemaritiman dalam negeri saat ini memang terjadi dalam dua bulan terakhir dan lamanya sudah mendekati tiga hari.

Last but not least, kenaikan dwelling time disebabkan pula oleh penerapan single truck identification document (STID) di Tanjung Priok. Maksudnya begini. Program ini membuat pengelola depo empty container impor tidak segera mengambil peti kemas kosong karena armada truk yang dimilikinya tidak punya STID. Bertumpuklah peti kemas di terminal akhirnya.

Masalah DT di pelabuhan-pelabuhan Indonesia muncul setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok pada 2016. Dalam kunjungannya, Presiden mengaku kecewa dengan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang bisa mencapai 5,5 sampai 7 hari.

Presiden meminta kondisi itu dipangkas menjadi minimal 3,5 hari saja. Sejak saat itu hingga kini, ada saja, tepatnya dicari-dicari, masalah seputar DT. Untuk memelototinya, pemerintah memasukkan DT ke dalam skema Indonesia National Single Window (INSW).

Tak mau ketinggalan, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang Yang Melawati Batas Waktu Penumpukan (long stay) di pelabuhan utama, yaitu Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Makassar.

Pada 2017, aturan itu direvisi dengan PM Nomor 25 Tahun 2017 tetapi  intinya lebih-kurang sama dengan aturan sebelumnya. INSW dan PM bersatu padu menjadi ujung tombak kembar mengawal mandat dari Jokowi; yang pertama berperan dalam menyediakan early warning dan yang kedua menjadi pedang pemutus di lapangan bila DT berulah.

Di sisi lain, media masuk ke urusan dwelling time dengan memberitakannya begitu saja tanpa berupaya mendudukkannya dalam konteks yang tepat. Akhirnya muncul anggapan atau persepsi di khalayak bahwa jika DT tinggi maka berabelah urusan di pelabuhan atau terminal.

Pertanyaannya kini, bila dwelling time tinggi, apakah aktivitas ekspor-impor mengalami kiamat? Aktivitas di terminal peti kemas akan terhenti sama sekali? Jawabannya jelas tidak. Loh, kok bisa seperti itu? Tentu saja bisa dan tulisan ini mencoba menyajikan perspektif yang relatif jernih.

Akal-akalan demi cari untung

Dwelling time sebetulnya bukanlah masalah sama sekali bagi pengelola terminal peti kemas. Hal itu lebih cenderung bersifat politis dibanding teknis/bisnis.

Disebut bersifat politis karena isu ini diciptakan untuk memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha depo atau lebih dikenal dengan istilah lini 2. Sejak Presiden Jokowi menyasar dwelling time, tak lama sesudahnya bermunculanlah depo-depo lini 2 di luar pelabuhan, khususnya, Tanjung Priok.

Tetapi, harap dicatat, bisnis depo sudah lama ada di sana. Mereka itu kerjanya menampung peti kemas yang “ditendang” dari container yard (CY) karena sudah hampir melewati batas waktu yang ditentukan oleh regulator, dalam hal ini tiga hari seperti tercantum dalam PM No. 116/2016.

Biasanya, pemindahan ini diawali oleh pengelola terminal dengan melaporkan kepada regulator, Otoritas Pelabuhan/Bea Cukai, bahwa terdapat sejumlah peti kemas yang long stay di CY. Setelah itu, peti kemas tadi dipindah ke lini 2 yang biayanya dibebankan sepenuhnya kepada pemilik peti kemas.

Baca juga: Dwelling Time Pelabuhan Tanjung Priok Masih 3,9 Hari

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com