UPAYA pemulihan ekonomi daerah dari pandemi Covid-19 terus dilakukan oleh seluruh pemerintah provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia.
Salah satu strateginya adalah dengan meningkatkan realisasi belanja untuk meningkatkan perputaran uang yang ada di daerah, baik belanja barang, modal ataupun belanja bantuan sosial.
Namun, kondisi kontras terjadi pada praktiknya. Kenyataanya banyak pemerintah daerah yang realisasi belanjanya dikategorikan masih cukup rendah.
Realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama tahun 2022 per Agustus, yang tercatat oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp 450,4 triliun atau baru mencapai 37,51ri keseluruhan belanja daerah.
Angka tersebut tentunya belum cukup memuaskan mengingat komponen belanja pemerintah daerah yang notabenenya merupakan aspek penting dalam menggerakan ekonomi daerah.
Angka realisasi yang masih rendah berdampak langsung terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta pembangunan di berbagai sektor pada suatu daerah.
Catatan ini menunjukkan perlunya akselerasi terhadap setiap pos belanja daerah pemerintah daerah, terutama belanja modal yang realisasinya masih 17,55 persen.
Terlebih lagi program Pemulihan Ekonomi Nasional akan berakhir pada 2022 dikarenakan tren melandainya kasus Covid-19, sehingga alokasi untuk penguatan ekonomi akan berubah.
Pemerintah perlu menguatkan daya beli dan konsumsi masyarakat dengan menggenjot belanja daerah.
Permasalahan terkait percepatan belanja daerah merupakan rangkaian situasi yang sedang dihadapi pemerintah. Belanja yang belum efisien dari tahun ke tahun disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya merupakan persoalan perencanaan.
Seringkali perencanaan yang telah dilakukan berbasis output, tetapi tidak sesuai dengan dinamika di lapangan.
Namun, perubahan anggaran karena keadaan bukanlah suatu masalah karena anggaran mempunyai prinsip fleksibel.
Masalah muncul ketika ada kegiatan dengan output yang benar-benar baru, maka perubahan tersebut biasanya memerlukan persetujuan legislatif.
Perubahan perencanaan yang bersifat masif ini juga cerminan masih buruknya proses perencanaan di daerah.
Polemik lainnya adalah belanja modal yang melibatkan pihak eksternal dalam pengadaannya. Sebagaimana diketahui, pengadaan barang/jasa dilakukan dengan metode lelang terhadap penyedia barang/jasa.