Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani: Kalau Anggaran Subsidi BBM Ditambah, dari Mana Dananya?

Kompas.com - 26/08/2022, 05:03 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah membutuhkan tambahan anggaran Rp 198 triliun jika tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar.

Kondisi itu akan semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena harus menanggung bengkaknya anggaran subsidi BBM tersebut.

"Duitnya sudah disediakan Rp 502 triliun, tapi habis. Pertanyaannya 'ibu mau nambah (anggaran subsidi BBM) atau enggak?' Kalau nambah dari mana anggarannya? Suruh ngutang?," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI, Kamis (25/8/2022).

Baca juga: DPD: Hampir Dipastikan Harga BBM Subsidi Naik dalam Waktu Dekat

Sri Mulyani menjelaskan, saat ini alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun. Nilai itu sudah membengkak dari anggaran semula yang hanya sebesar Rp 152,1 triliun.

Penambahan itu dilakukan untuk menahan kenaikan harga energi di masyarakat imbas lonjakan harga komoditas global. Namun, kini tren harga minyak mentah masih terus menunjukkan kenaikan, apalagi kurs rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar AS.

Di sisi lain, konsumsi Pertalite dan Solar juga diperkirakan melebihi kuota yang ditetapkan. Alhasil, kondisi tersebut membuat anggaran Rp 502,4 triliun itu tidak akan cukup untuk kebutuhan subsidi dan kompensasi energi hingga akhir tahun.

Baca juga: Persoalan Harga BBM Subsidi Pelik, Pemerintah Pikirkan Bansos hingga Komunikasi Publik


Ia mengatakan, mulanya pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sebesar 100 dollar AS per barrel. Namun, realisasinya hingga saat ini berada di level 105 dollar AS per barrel.

Sementara nilai tukar rupiah yang semula diasumsikan sebesar Rp 14.450 per dollar AS, kini semakin melemah menjadi ke level Rp 14.750 per dollar AS. Kondisi depresiasi rupiah ini membuat RI harus membayar lebih mahal untuk impor minyak mentah.

"Itu nambah lagi jadinya karena minyaknya masih juga diimpor," imbuh Sri Mulyani.

Baca juga: 3 Skenario Pemerintah Terkait BBM Subsidi, Mana yang Bakal Dipilih Jokowi?

Ia mengungkapkan, dengan asumsi ICP 100 dollar AS per barrel dan kurs Rp 14.450 per dollar AS saja, harga keekonomian Solar mencapai Rp 13.950 per liter, jauh lebih tinggi dari harga jual di masyarakat yang sebesar Rp 5.150 per liter.

Begitu pula dengan Pertalite yang harga keekonomiannya mencapai Rp 14.450 per liter, tetapi harga jual di masyarakat hanya sebesar Rp 7.650 per liter. Selisih inilah yang pada akhirnya ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi dan kompensasi.

"Perbedaan Rp 8.300 untuk Solar dan Rp 6.800 untuk Pertalite itu yang harus kami bayar ke Pertamina. Itulah yang disebut subsidi dan kompensasi," ucapnya.

Adapun terkait konsumsi BBM, berdasarkan prognosis konsumsi Pertalite hingga akhir tahun akan mencapai 28 juta kiloliter (KL), melampaui kuota yang ditetapkan tahun ini sebanyak 23,05 juta KL.

Sementara konsumsi Solar diperkirakan mencapai 17,2 juta KL hingga akhir tahun, padahal kuota yang ditetapkan untuk tahun ini hanya sebesar 14,91 juta KL.

"Jadi kalau ikuti tren (konsumsi) ini, bulan Oktober habis kuotanya (Solar), bahkan kalau diikuti akhir September ini habis kuota untuk Pertalite," pungkasnya.

Baca juga: Komisi VII DPR RI Minta Menteri ESDM Menambah Kuota BBM Bersubsidi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com