JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Bahkan ada wacana kenaikan BBM subsidi hingga 30 persen.
Hal itu sebagai upaya untuk mencegah jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Saat ini APBN 2022 sudah mengakomodasi subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga BBM subsidi tidak hanya berdampak pada inflasi yang tinggi, tetapi juga meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia.
“Dampak dari naiknya harga BBM jenis subsidi cukup luas, mulai dari inflasi umum yang tinggi bisa menyentuh 7 persen lebih jika kenaikan harga 30 persen, hingga naiknya orang miskin,” kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/8/2022).
Baca juga: Hitungan Pengamat: Harga Keekonomian BBM Subsidi yang Disampaikan Pemerintah Terlalu Tinggi...
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan kenaikan harga BBM Pertalite. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga beberapa kali mengungkapkan, jika harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, akan membuat APBN jebol.
“BBM subsidi dibutuhkan oleh petani untuk mengantar hasil panen ke pasar, hingga ke tangan konsumen. Artinya, BBM subsidi meningkat maka inflasi pangan akan naik signifikan. Data per Juli 2022, inflasi bahan pangan atau volatile food secara year on year sudah dobel digit, mendekati 11 persen. Itu berisiko sekali kalau ditambah naiknya harga BBM subsidi,” tambah Bhima.
Di sisi lain, Bhima menilai kenaikan harga diperkirakan tidak berhenti pada BBM subsidi, tapi akan merambat ke berbagai jenis energi lainnya seperti elpiji 3 kg, kenaikan tarif listrik, dan bahkan potensi kenaikan BBM non subsidi seperti Pertamax.
“Kenaikan harga BBM subsidi bisa merambat ke elpiji 3 kg yang gap harga keekonomiannya mencapai 70 persen dari harga subsidi. Pun demikian dengan listrik non subsidi yang berisiko alami kenaikan kembali. Sementara BBM jenis non subsidi mengikuti harga pasar, bukan tidak mungkin Pertamax akan naik ketika patokan ICP nya masih tinggi,” lanjut Bhima.
Di sisi lain, Indonesia saat ini tengah mendekati tahun politik, sehingga ada banyak risiko yang tentunya harus dikaji lebih dalam oleh pemerintah terkait rencana kenaikan BBM bersubsidi. Gejolak politik juga sangat riskan terjadi, dan bisa berdampak pada seluruh pencapaian ekonomi selama ini.
“Yang terburuk adalah risiko gejolak politik, dan berdampak terhadap seluruh pencapaian ekonomi. Konteks nya mendekati tahun politik, 2023-2024 dan itu sangat riskan. Ditambah kenaikan harga BBM akan memukul masyarakat kelas menengah dan bawah sekaligus. Bansos tidak bisa meng-cover semua lapisan yang terdampak. Akibatnya bisa menciptakan social unrest,” tegas dia.
Baca juga: Sri Mulyani Curhat Subsidi BBM Terus Membengkak dan Bebani APBN
Sebelumnya, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, sejauh ini belum ada instruksi secara resmi kepada Pertamina terkait penyesuaian harga Pertalite. Irto bilang, pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah.
“Belum, kami masih menunggu arahan dari regulator,” kata Irto saat dihubungi Kompas.com, Senin (29/8/2022).
Namun, Irto memastikan stok BBM subsidi dalam posisi aman untuk mendukung mobilitas masyarakat. Ia juga mengimbau agar masyarakat bisa berhemat dalam penggunaan BBM, jenis Pertalite.
“Kami akan menjaga stok dalam posisi aman. Namun, kami menghimbau masyarakat dapat berhemat menggunakan BBM, dan dapat membeli sesuai kebutuhan,” kata Irto.
Baca juga: Anggaran Subsidi Energi Rp 502,4 Triliun, Bisa Buat Bangun 3.333 Rumah Sakit atau 3.500 Km Tol
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.