Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apkasindo: Kepastian Hukum Kepemilikan Lahan Jadi Persoalan Utama Petani Sawit

Kompas.com - 01/09/2022, 20:17 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Apkasindo Rino Afrino mengatakan yang menjadi persoalan utama yang kerap dihadapi oleh petani sawit rakyat adalah masalah kepastian hukum (legalisasi hak) akan kepemilikan lahan.

Dia menjelaskan, legalitas lahan terdiri dari surat Sertifikat Hak Milik (SHM) atau dokumen penguasahaan tanah yang dibuktikan dengan surat pernyataan penugasan fisik bidang tanah sesuai dengan ketentuan. Jika nama sertifikat tidak sama dengan identitas pekebun maka perlu dilengkapi dengan sertifikat oleh kepala desa.

Hal inilah kata dia yang menjadi salah satu problematikan para petani karena 80 persen petani yang memegang sertifikat, sudah tidak lagi sama dengan nama yang ditulis di sertifikat.

"Jadi nama pengusul tidak sama dengan nama yg disertifikat. Ini PR bagaimana cara melakukan balik nama tanpa proses yang panjang karena banyak laporan, prosesnya lama dan panjang mulai dari pengadilan, pengumuman di koran dan ini sulit," ujarnya dalam Kompas Talks Permasalahan dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit yang disiarkan virtual, Kamis (1/9/2022).

Baca juga: Viral Video Petani Jual TBS Kelapa Sawit ke Malaysia, Apkasindo: Kami Harus Biayai Keluarga

Menurut dia, kesulitan ini jugalah yang menjadi penghambat petani dalam mendapatkan haknya untuk berusaha memenuhi ekonomi keluarga.

Rino juga mengatakan, pemerintah mendorong agenda Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan memperoleh Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan secara berimbang.

Adapun Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memberikan target agar program PSR bisa mencapai 500.000 hektar selama tahun 2022.

Hanya saja, kata Rino, salah satu permasalahan yang dirasakan oleh petani sawit dalam melakukan peremajaan sawit adalah adanya aturan dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan SDM, Penelitian dan Pengembangan Peramajaan sawit yang menyatakan petani sawit yang ingin ikut melakukan peremajaan harus tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut.

Baca juga: Lindungi Petani Sawit, Apkasindo Gandeng BPJS Ketenagakerjaan

Naufal Noorosa Sejumlah Langkah Perbaikan untuk Kesejahteraan Petani Sawit


Padahal Rino menilai, baleid ini menjadi momok bagi petani sawit lantaran kebanyakan petani sawit menanam sawit justru di lahan marjinal.

"Ini juga menjadi momok yang luar biasa bagi petani sawit karena kita tahu bahwa namanya petani selalu meletakan (sawit) di lahan-lahan marjinal tidak lahan yang super subur tapi marjinal klw ini diterapkan maka petani-petani yang di lahan gambut tidak bisa ikut peremajaan kelapa sawit," ujarnya.

Seperti di Riau, kata dia, hampir separuh di pantai Timur masuk dalam kawasan ideologis gambut.

"Tentu ini mengancam karena peserta yang ikut dalam pemerajaan sawit kesulitan, padahal mereka penyumbang dana tersebar kelapa sawit untuk Indonesia, penyumbang ekspor, penyumbang devisa padahal terancam karena tidak ikut peremajaan sawit," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com