Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Harga BBM Naik, Cegah Penurunan Daya Beli

Kompas.com - 06/09/2022, 10:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETETAPAN harga BBM baru sudah berlangsung beberapa hari. Kendati banyak keluh kesah di mana-mana, sejauh ini tidak terdengar ada kerusuhan massal, seperti yang terjadi di Jakarta pada 1998.

Bahkan pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta, dipenuhi banyak pengunjung pada hari Minggu (4/9/2022).

Terlihat orang tua dan anak-anak, dari berbagai kalangan, antusias mencermati tanaman dan hewan yang dipamerkan. Di satu titik ini tak tampak adanya kesedihan mendalam karena kenaikan harga BBM.

Memang kemudian terjadi unjuk rasa di beberapa kota, menuntut pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM. Namun aparat kepolisian dapat mengawalnya sehingga tidak terjadi keonaran.

Demonstrasi serikat buruh dan mahasiswa yang akan dilakukan dalam skala yang lebih besar pada hari-hari ini, diharapkan juga dapat berlangsung dengan aman dan terkendali.

Dilihat dengan kacamata positif, adanya upaya memprotes kenaikan harga BBM itu mengindikasikan bahwa komunikasi publik yang dilakukan pemerintah belum berhasil mengirim pesan bahwa kenaikan harga BBM adalah perlu untuk ekonomi yang lebih sehat dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

Mengapa harus naik?

Memproduksi BBM harus terlebih dahulu membeli minyak mentah dari luar negeri, karena produksi minyak dalam negeri tidak mencukupi.

Kemudian ada ongkos produksi yang harus dibayar untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM bersih, yang tidak mengotori lingkungan.

Maka ada biaya yang harus dibayar, yang disebut sebagai harga keekonomian. Jika harga ini yang digunakan Pertamina sebagai patokan untuk menjual Pertalite, maka konsumen akan protes.

Untuk menghindari hal itu, pemerintah menetapkan harga yang lebih rendah dari harga keekonomian.

Selisih antara harga keekonomian Pertamina dengan harga yang ditetapkan pemerintah ini disebut sebagai subsidi BBM.

Yang menjadi masalah adalah konsumsi BBM meningkat terus sehingga subsidi yang dikeluarkan pemerintah juga meningkat.

Maka keluarlah angka Rp 502 triliun, yang banyak dibicarakan itu. Subsidi itu sangat berarti, mengingat anggaran pemerintah yang setiap tahun dibelanjakan sebesar Rp 3.000 triliun.

Dan yang lebih menentukan, subsidi BBM ini lebih besar dari subsidi yang direncanakan dalam APBN 2022 karena volume BBM yang dibeli konsumen meningkat dan harga minyak mentah dunia juga naik akibat perang Rusia-Ukraina.

Untung pemerintah mendapat durian runtuh dari kenaikan harga komoditas ekspor, sehingga dapat membiayai kenaikan subsidi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com