Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Romandelas Manurung
Pegawai Negeri Sipil

Analis Hukum Ahli Pertama / Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI

Mengenal Merek Terkenal dalam Kasus Starbucks vs "Starbucks"

Kompas.com - 13/09/2022, 12:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEREK terkenal kerap menjadi sasaran pendomplengan hingga pemalsuan dalam aktifitas perdagangan barang dan/atau jasa.

Tahun 2019, pemerintah melalui pejabat pabean menemukan 858.240 buah ballpoint palsu dengan merek Standardpen di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Tahun 2021, pemerintah kembali menggagalkan 288.000 buah ballpoint palsu dengan merek yang sama sebelum masuk ke jalur perdagangan.

Sementara tahun 2020, pemerintah mendapati 911.280 buah pisau cukur palsu dengan merek Gillete di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

Kedua merek itu boleh dikatakan sudah dikenal luas masyarakat di Indonesia.

Modus lain dalam bentuk pendomplengan merek terkenal juga kerap terjadi. Teranyar, pemilik merek Starbucks harus menempuh jalur hukum untuk memperoleh status sebagai merek terkenal melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022 tanggal 18 Mei 2022.

Langkah ini diambil karena adanya potensi pemboncengan terhadap keterkenalan merek Starbucks oleh salah satu perusahaan lokal di Indonesia.

Kriteria merek terkenal

Dalam kacamata hak kekayaan intelektual (HKI), sebuah merek harus memenuhi kualifikasi tertentu untuk diakui sebagai merek terkenal.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) memang tidak mendefenisikan langsung apa itu merek terkenal.

Namun, Pasal 21 UU Merek mengatur bahwa permohonan merek oleh pihak lain dapat ditolak apabila merek yang dimohonkan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal, baik itu untuk barang dan/atau jasa sejenis maupun tidak sejenis, yang memenuhi persayaratan tertentu.

Persyaratan tertentu yang dimaksud diejawantahkan kembali pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek.

Pada Pasal 18 diuraikan kriteria merek terkenal dengan mempertimbangkan sembilan hal, yakni:

  1. tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan sebagai merek terkenal;
  2. volume penjualan barang dan/atau jasa dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan merek tersebut oleh pemiliknya;
  3. pangsa pasar yang dikuasai oleh merek tersebut dalam hubungannya dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat;
  4. jangkauan daerah penggunaan merek;
  5. jangka waktu penggunaan merek;
  6. intensitas dan promosi merek termasuk nilai investasi yang digunakan untuk promosi tersebut;
  7. pendaftaran merek atau permohonan pendaftaran merek di negara lain;
  8. tingkat keberhasilan penegakan hukum di bidang merek khususnya mengenai pengakuan merek tersebut sebagai merek terkenal oleh lembaga yang berwenang, dan;
  9. nilai yang melekat pada merek karena reputasi dan jaminan kualitas barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh merek tersebut.

Dalam kasus Starbucks, pemilik berhasil meyakinkan hakim pada tingkat kasasi bahwa merek kopi itu terbukti sudah mendaftarkan mereknya di berbagai negara, jangkauan daerah penggunaan merek, serta promosi yang gencar dan besar-besaran.

Gugatan oleh Starbucks Corporation yang bermarkas di Amerika Serikat itu berawal dari adanya merek terdaftar di Indonesia yang menggunakan kata “Starbucks” sebagai merek untuk jenis barang tembakau.

Starbucks menilai keterkenalan mereknya nyata-nyata telah diboncengi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com