Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Compassionate Leadership: Gaya Kepemimpinan Penuh Cinta

Kompas.com - 11/10/2022, 16:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KATA compassion dan empati sering kali digunakan secara bergantian. Namun, secara makna, dua kata ini berbeda.

Kita semua tahu bahwa empati adalah soft skill penting di abad ini, tetapi ia punya dua kelemahan mendasar: empati berhenti di pikiran dan seseorang hanya merasakan empati pada peer group-nya saja.

Sedangkan compassion lebih kepada aksi nyata untuk membantu orang lain, terlepas dari apakah seseorang kenal dekat atau tidak. Saya akan menggunakan dua kata ini secara bergantian dalam keseluruhan artikel.

Compassionate Leadership merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan perhatian lebih kepada orang di sekitarnya, memiliki empati untuk memberikan hal terbaik bagi tim, rekan kerja dan perusahaan. Gaya kepemimpinan yang mementingkan berharganya setiap anggota tim.

Apa kaitannya dengan kepemimpinan, khususnya jika kita kaitkan dengan angkatan kerja anak muda?

Pada tahun 2019, sebuah riset yang berjudul Workplace Empathy Study menemukan bahwa 90 persen karyawan percaya empati sangat vital dan 8 dari 10 karyawan akan pergi dari perusahaan yang pemimpinnya kurang empati.

Kemudian tibalah pandemi, yang membuat compassion menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya.

Empati hanyalah perasaan awal, tetapi perasaan itu bisa menjadi bekal penting untuk melakukan tindakan.

Jeff Weiner, mantan CEO LinkedIn memformulasikan compassion dalam rumus: empati + tindakan. Compassion berarti bagaimana seorang pemimpin mengambil tindakan berdasarkan perasaan empati.

Kegelisahan tanpa tindakan hanya seperti orang yang berbicara tanpa substansi. Jeff Weiner menekankan betapa pentingnya compassion dalam kepemimpinan.

“I can tell you with absolute conviction that managing compassionately is not just a better way to build a team, it’s a better way to build a company,” tuturnya saat dia berbicara di Universitas Pennsylvania 2018 lalu.

Berangkat dari sini, saya kira pemimpin yang compassion sangat penting di abad ini.

Ketika pandemi, compassion sangat terlihat ketika orang-orang bergotong royong untuk membantu sesama.

Satu hal yang saya sadari adalah bahwa compassion akan menjadi kunci kepemimpinan di masa depan.

Karakteristik utama dari ‘compassionate leaders’ di antaranya inklusif, suportif, arif, bijaksana, jujur, apa adanya, berpikiran terbuka dan fokus berkontribusi memberikan usaha terbaik untuk orang di sekitarnya.

Kuat atau lemahnya moral tim dalam suatu organisasi merupakan peran dari sosok pemimpin ini.

Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak emosi: marah, sedih, kecewa. Pemimpin pun juga manusia dan mereka memimpin sekelompok manusia.

Artinya, akan ada emosi yang selalu beradu setiap kita bekerja. Pemimpin perlu memahami segala gejolak emosi dan bagaimana emosi tersebut bisa muncul, sehingga bisa memformulasikan solusi yang tepat.

Dan juga menjadi compassionate leader memiliki dampak yang positif, khususnya dalam dua hal penting: engagement dan inovasi.

Menumbuhkan engagement dan inovasi

Satya Nadella, CEO dari Microsoft mengatakan empati bisa membuat orang terpacu untuk menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi banyak orang.

Jika kita pikirkan kembali, setiap inovasi memiliki kisah yang inspiratif. DeepMind, yang bekerja sama dengan Google dan Tim Shaw untuk mengembangkan alat agar penderita Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) dapat lebih mudah berkomunikasi. Kita tahu sendiri bahwa ALS membuat penderitanya lumpuh dan tidak bisa berbicara.

Di Indonesia, banyak startup yang muncul karena kegelisahan founder-nya terhadap masalah di masyarakat.

Sayurbox, sebuah e-commerce yang didirikan oleh Amanda Susanti, terbentuk karena kegelisahannya melihat tingginya perbedaan harga sayur dan buah antara petani sebagai produsen dengan konsumen.

Untuk membantu mempertemukan petani dan konsumen, maka Sayurbox lahir dengan model bisnis yang sedemikian rupa.

Satu kesamaan di antara dua cerita ini adalah compassion. Inovasi yang dilakukan berangkat dari sebuah cerita yang membuat mereka merasa berempati.

Dari empati, ada gagasan yang ingin dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah di masyarakat. Gagasan tersebut kemudian direalisasikan menjadi sebuah aksi nyata.

Mereka yang bertindak berdasarkan kegelisahan dan empati Itulah yang disebut compassionate leader. Mereka merasakan, berempati, dan mengambil tindakan.

Dengan banyaknya masalah yang terjadi, baik pada skala nasional dan global, pemimpin seperti ini yang saya kira dibutuhkan masyarakat.

Masyarakat membutuhkan pemimpin yang memahami sekaligus mau mengambil tindakan terhadap masalah di sekitar.

Ketika compassionate leader memimpin, mereka bisa memberikan dorongan kepada anggotanya agar berinovasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com