KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Berhenti Tenang

Kompas.com - 15/10/2022, 09:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISTILAH quiet quitting tiba-tiba menjadi fenomena yang dibicarakan orang akibat informasi di media sosial TikTok. Ada beberapa pihak yang mengaitkan fenomena ini dengan kondisi stres dan kebutuhan untuk healing. Bahkan, sampai ada aplikasi baru yang berusaha mengakomodasi kebutuhan individu-individu untuk “curhat” mengenai kondisi tersebut.

Pertanyaannya, apakah ini gejala yang baru muncul terkait kondisi yang sering kita sebut sebagai disruptif? Atau, sebenarnya ini adalah gejala lama yang baru muncul ke permukaan akibat kekritisan generasi muda terhadap hal yang mereka amati dan rasakan di sekeliling mereka?

Para ahli manajemen sumber daya manusia (SDM) berpendapat bahwa gejala tersebut sudah ada sejak dulu. Engagement yang rendah dari karyawan di organisasi adalah tanda dari quiet quitting.

Kita sering menggolongkan karyawan dalam dua golongan. Pertama, karyawan dengan sense of belonging yang tinggi diasumsikan memiliki loyalitas tinggi. Kedua, golongan karyawan dengan sense of belonging rendah yang diasumsikan tidak loyal terhadap organisasi. Saat ada kesempatan, mereka dinilai akan segera meninggalkan organisasi.

Kita sering lupa bahwa ada golongan lain, yaitu mereka dengan sense of belonging rendah, tetapi tidak berpikir untuk keluar dari organisasi. Kelompok karyawan ini tidak bisa dengan cepat kita golongkan sebagai orang yang tidak berkinerja.

Bisa saja, mereka tetap mencapai target yang ditetapkan organisasi, walaupun hanya secukupnya. Mereka juga biasanya cukup tertib mengikuti aturan organisasi dan menghindari masalah yang tidak perlu bagi pribadi mereka.

Namun, mereka bukan tipe karyawan yang mau meluangkan waktu untuk berpikir lebih jauh demi kepentingan pengembangan organisasi. Mereka pun enggan untuk berprestasi, seperti dengan “walking the extra mile”, atau berbuat dan berpikir lebih untuk perusahaan.

Kita sering kali menemukan tipe orang seperti itu berada dalam sebuah organisasi selama bertahun-tahun. Mereka hanya bekerja demi upah bulanannya saja. Mereka bisa dikatakan sebagai kelompok “quit and stay”, yakni individu dengan tubuh yang berada di kantor, tetapi jiwanya entah berada di mana.

Hasil penelitian Gallup menyebutkan bahwa 50 persen tenaga kerja di organisasi adalah quiet quitters. Bisa kita bayangkan, berapa besar kerugian yang perusahaan alami selama ini karena mengandalkan SDM yang hanya berfungsi separuh, atau bahkan mungkin juga kurang dari kapasitasnya?

Sebetulnya, apa yang terjadi pada kalangan karyawan seperti itu? Apa alasan mereka tidak memberikan hatinya pada organisasi? Bukankah organisasi adalah sumber mata pencaharian mereka?

Employee experience (EX)

Semua orang sibuk membahas tentang user experience (UX) dan customer experience (CX). Akan tetapi, kita sering kali lupa untuk membahas employee experience (EX).

Para ahli mendefinisikan EX sebagai penjumlahan dari sekian banyak momentum berkesan yang dialami karyawan dalam kehidupannya sehari-hari di organisasi, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan hatinya.

Namun, kita biasanya lebih mudah mengingat saat-saat menyakitkan ketimbang menyenangkan. Saat dipersalahkan, dipermalukan, dan dituding di depan umum, kita akan cenderung menorehkan luka di hati sehingga sulit disembuhkan. Apalagi, bila hal tersebut terjadi pada banyak karyawan sehingga atmosfer negatif pun semakin berkembang.

Oleh karena itu, pimpinan perlu mendalami pengalaman yang menjadi asal-muasal timbulnya perasaan negatif itu. Dengan begitu, pimpinan dapat mengembangkan empati pada situasi mereka.

Bermula dari sikap

Esensi dari quiet quitting adalah mengerjakan pekerjaan tanpa memberikan nilai tambah. Beberapa orang di TikTok berkomentar bahwa fenomena ini didasari sikap “ogah ribut-ribut” dan memilih diam saja. Dalam ilmu psikologi, kita mengenal sikap pasif-agresif. Ada kemarahan yang ditampilkan dengan kediaman.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Bagaimana kita mengatasi fenomena tersebut? Pertama, kita perlu menemukan hal-hal apa yang dikerjakan dengan sempurna oleh para bawahan. Apa saja hal yang dikerjakan dengan setengah hati oleh mereka, sampai hal-hal yang cenderung dihindari oleh mereka?

Daftar itu kemudian kita bandingkan dengan daftar prioritas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal yang bukan prioritas penting, dapat kita tunda terlebih dulu.

Namun, bila ada tugas terkait inovasi yang akan meningkatkan daya kompetisi organisasi, tetapi tidak dikerjakan anggota tim dengan alasan kesibukan pekerjaan rutin, kita perlu mendiskusikan bersama kembali tujuan organisasi.

Kita perlu bicara bagaimana tugas tersebut memberikan sumbangsih terhadap pencapaian tujuan organisasi. Seorang ahli berpesan, “Do more listening than talking. Be open and non-defensive. It’s the only way you can find out what matters to them and what may need to change.”.

Kedua, sebagai atasan, kita perlu mempertanyakan apakah kita sudah cukup peduli pada anak buah kita? Apakah kita sudah benar-benar “mendengar” mereka sampai bisa mengimajinasikan hidup mereka? Mendengar tidak berarti sekadar mengingat tanggal ulang tahun saja, tetapi juga mengenal pribadi mereka luar dan dalam.

Hubungan pribadi seperti itu perlu benar-benar dirasakan anak buah sehingga mereka pun segan bersikap pasif-agresif terhadap atasannya sebagai duta organisasi.

Bila selama ini sikap tersebut belum kita praktikkan, kita pelu belajar dan keluar dari comfort zone. Mulai bicara empat mata dengan mereka sehingga dapat memperkecil “jarak hati” yang selama ini ada antara mereka dengan kita.

Ketiga, kita perlu mengaitkan semua kegiatan tim dengan sasaran organisasi yang lebih besar. Orang akan lebih berkontribusi bila ia merasa mengerjakan pekerjaan yang lebih bermakna.

Seorang sekuriti sebuah bank yang merasa tugasnya hanya bersiap di depan pintu, akan merasa lebih semangat bila ia sadar bahwa kehadirannya menyapa nasabah dengan ramah dan membantu mereka yang kesulitan, ternyata membuat nasabah jatuh hati pada cabang tersebut. Semua orang perlu sadar bahwa tidak ada tindakan kecil yang tidak berkontribusi pada kesuksesan organisasi.

Jadi, untuk menghindari quiet quitting, setiap pemimpin perlu mengembangkan diri menjadi atasan yang dihormati anak buah. Dengan begitu, anak buah enggan mempecundangi kita.


Terkini Lainnya

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Whats New
Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Whats New
Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Rilis
IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

Whats New
Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Whats New
Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Whats New
Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Whats New
Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Whats New
Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Whats New
4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

Spend Smart
Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Whats New
Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Menkeu: Per 15 Maret, Kinerja Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 56,5 Triliun

Whats New
Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Siap-siap, IFSH Tebar Dividen Tunai Rp 63,378 Miliar

Whats New
komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com