KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Menghadapi Krisis Berkepanjangan

Kompas.com - 22/10/2022, 13:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMIMPIN suatu tim, organisasi, ataupun perusahaan dalam krisis, layaknya menjaga telur di ujung tanduk. Sebab, krisis selalu terdiri atas dua fase. Pertama, fase genting atau darurat yang membutuhkan pemimpin berkejaran dengan waktu untuk menstabilkan situasi. Kedua, fase adaptif, yakni situasi ketika penyebab krisis serta dampak-dampaknya perlu dikelola dan diatur agar dapat beradaptasi dengan situasi baru. Orang sering menyebut fase ini sebagai “the new normal”.

Namun, perlu diketahui bahwa fase adaptif bisa mengecoh. Karena kecemasan sudah berkurang, kita menjadi lengah. Padahal, sebenarnya kita harus tetap siaga terhadap kemungkinan krisis berikutnya. Para follower berharap, ada titik terang yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Padahal, pemimpin pun tidak bisa memberikan solusi yang jelas karena memang kondisi tersebut juga baru bagi mereka.

Pemimpin berusaha meyakinkan setiap individu untuk bersikap seadaptif mungkin dengan keadaan. Di sisi lain, banyak pemimpin berharap ada tips and trick jitu untuk menjadi adaptif. Padahal, yang harus berubah adalah mindset masing-masing individu di dalam tim. Twists and turns are the only certainty. Hal ini tak jarang membuat pemimpin merasa kecewa dan kelelahan. Namun, justru di sinilah pentingnya peran pemimpin.

Tiarap atau tekan “tombol reset”?

Ada reaksi yang umum ditunjukkan pemimpin dalam menghadapi krisis. Banyak pemimpin yang memutuskan untuk menidurkan operasi perusahaan. Biasanya, pemimpin yang melakukan ini berpikir bahwa krisis yang terjadi bersifat sementara dan situasi akan kembali normal setelahnya. Mereka akan segera memperketat kontrol, memotong biaya, ataupun melakukan restrukturisasi organisasi agar lebih efisien.

Dalam benak pemimpin yang melakukan hal tersebut, pengurangan beban akan mengurangi stres, frustrasi, dan ketakutan. Mereka berfokus untuk mengamankan hal-hal yang bisa diselamatkan selagi badai mengamuk. Pengembangan yang membutuhkan investasi akan ditunda terlebih dulu sampai keadaan aman.

Reaksi itu sangat bisa dipahami karena secara alamiah kita memang cenderung melakukan tindakan protektif ketika ancaman datang, sambil berharap matahari akan cerah kembali. Namun, realitas yang terjadi, kestabilan seperti masa lalu ternyata tidak kunjung kembali. Sebaliknya, perubahan bergerak seperti tanpa kendali.

Hasil penelitian mengatakan bahwa hanya 20 persen pasien pasca-serangan jantung yang berhenti merokok, mengubah cara makan, dan berolahraga. Artinya, setelah krisis, kebanyakan orang tetap mempertahankan kebiasaan lamanya. Mengapa hal ini terjadi? Mereka lupa pada kecemasan ketika menghadapi krisis.

Individu dengan adaptive leadership tidak akan membuat kesalahan seperti itu. Orang yang adaptif tidak akan tiarap terus-menerus. Sebaliknya, mereka langsung bangun, sambil berupaya menemukan kesempatan yang bisa diraih saat itu. Mereka seolah-olah menekan tombol reset pada alat elektronik yang membuat sistem dengan sendirinya memperbaiki diri.

Turbulensi yang dialami dianggap sebagai momentum untuk meninggalkan masa lalu dan bersiap menghadapi masa depan. Dalam proses adaptasinya, mereka mengubah rule of the games, membenahi bagian-bagian organisasi yang terasa usang, dan melakukan definisi ulang cara kerja.

Frustrasi akan tetap ada, terutama pada individu yang terdampak perubahan drastis. Mereka harus berkembang, mengembangkan kompetensi baru, dan menyesuaikan diri. Di sinilah dibutuhkan empati pemimpin terhadap anggota tim yang memang mengalami guncangan. Dalam konteks ini, leadership is an improvisational and experimental art.

Sekarang, eksekutif selalu mempunyai tuntutan ganda. Mereka harus mengeksekusi operasi untuk memenuhi tuntutan saat ini, sambil mengembangkan praktik-praktik menyambut tuntutan masa depan.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Contohnya, perusahaan retail Best Buy di Amerika Serikat. Mereka melakukan riset dan menyadari bahwa ternyata pelanggannya tidak selalu bapak-bapak yang berbelanja perkakas saja.

Mereka kemudian menggeser fokus menjadi perusahaan yang menyediakan kebutuhan rumah tangga. Dengan display yang nyaman dan cantik, serta servis yang lebih ramah dan informatif, ibu-ibu pun menjadi pelanggan baru Best Buy.

Merangkul disequilibrium

Dalam keadaan disequilibrium, menyeimbangkan organisasi adalah pekerjaan yang rumit. Kita seolah tidak pernah boleh lepas dari termostat. Suhu yang terlalu dingin membuat orang merasa terlalu nyaman dan enggan bergerak. Sebaliknya, bila terlalu panas, orang akan merasa resah.

Dalam keadaan turbulensi seperti ini, konflik rentan terjadi. Dalam situasi ini, pemimpin perlu melakukan penyeimbangan tanpa melibatkan emosi dirinya. Dia perlu bertindak politis sekaligus analitis. Ia juga perlu membangun komunikasi yang bernada pemberani dengan satu tujuan yang gamblang.

Merawat diri sendiri

Untuk menjadi manusia yang adaptif, kita tidak hanya perlu menyeimbangkan tekanan di dalam dan luar organisasi. Kita juga perlu mengontrol pikiran dan emosi. Batas kesabaran, kekuatan fisik, ataupun mental kita teruji di sini. Kita tidak boleh lupa memikirkan diri sendiri, apalagi sampai mengorbankan diri sendiri.

Pekerjaan memang penting, tetapi tidak boleh sampai merusak keseimbangan hidup kita sendiri. Melalui pekerjaan ini, kita juga perlu mengembangkan hubungan dengan anggota tim dan lingkungan sosial yang lebih besar.

Dengan bersikap jujur secara emosional, kita juga dapat mengalibrasi perasaan anggota tim sehingga sambung rasa pun mulai terbangun. Selain dengan anggota tim, kita perlu menjaga hubungan dengan beberapa orang di luar lingkaran pekerjaan yang dapat membantu untuk memahami situasi dari perspektif yang berbeda.

Terakhir, tetapi bisa jadi yang paling penting, kita perlu terus mengembangkan sikap optimistis. Meski demikian, kita tetap harus realistis.

Luangkan waktu untuk merefleksikan pengalaman dan bagaimana reaksi kita selama ini terhadap pengalaman tersebut. Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai diri kita dan membuat kita merasa bangga? Atau, kita harus lebih memperbaiki cara bereaksi dan bersikap dalam situasi-situasi krisis? Sebab, seperti kata pepatah China, in every crisis lies the seed of opportunity.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com