Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Kebijakan Makro (Jangan) Terlambat

Kompas.com - 24/10/2022, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK pertengahan Oktober 2022, pergerakan rupiah melemah pada tingkat kisaran Rp 15.500 per dolar AS. Jika Bank Indonesia tidak bertindak cepat, bisa jadi kondisi ini diperkirakan akan membawa arah rupiah ke Rp 16.000 per dolar AS.

Sesuai dengan prediksi dan ekspektasi pasar, pada 19 Oktober 2022, BI menaikkan suku bunga acuan, seven days repo rate (7DRR) sebesar 50 bps atau 0,5 persen menjadi 4,25 persen.

Sesuai dengan mandatnya, BI bertugas untuk menjaga tingkat inflasi dalam kisaran sasaran inflasi. Saat ini inflasi tahunan sudah berada di luar sasaran Bank Indonesia.

Di samping faktor global, dampak kenaikan harga BBM, pelemahan rupiah juga menjadi alasan tekanan inflasi dari imported inflation. Maka tepat kiranya Bank Indonesia menaikkan 7DRR sebesar 50 bps untuk menahan adanya gejolak berikutnya.

Apakah kebijakan tersebut efektif menahan perlemahan rupiah? Jawabannya belum tentu.

Setidaknya kenaikan suku bunga acuan akan menahan gejolak yang tinggi. Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 15.579 per dolar Amerika Serikat (AS) saat perdagangan Kamis, 20 Oktober 2022. Nilai tersebut melemah 88 poin atau 0,6 persen dari perdagangan hari sebelumnya.

Dalam sepekan, kurs rupiah mengalami fluktuasi sebesar 189 poin. Sepanjang tahun 2022, rupiah mencatatkan pelemahan hingga 8,03 persen, lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen.

Apakah artinya rupiah lebih stabil? Saat ini memang demikian, namun belum tentu kedepannya.

Semua negara telah ancang-ancang kebijakan moneter dan fiskal yang lebih ketat untuk menghindari dampak krisis ekonomi dan keuangan yang dalam sejak awal 2022.

Indonesia baru melakukan antisipasi dampak krisis global bulan September 2022, melalui kenaikan harga BBM dan tiga kali kenaikan suku bunga acuan BI.

Banyak negara emerging melakukan kebijakan moneter lebih awal dari Indonesia secara bertahap.

Gejolak ekonomi dalam negeri di Indonesia sempat ditahan dengan mempertahankan harga BBM hingga bulan September yang lalu. Kebijakan tersebut kini menjadi bumerang.

Belanja subsidi dalam APBN mencapai Rp 500 triliun. Inflasi dan gejolak nilai tukar yang sempat tertahan hingga bulan Agustus, kini sangat terasa signifikan dampaknya.

Sebelumnya tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan sehingga sejak awal 2022.

Tekanan inflasi ini telah mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang agresif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com