Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Tempe Made In Amerika

Kompas.com - 01/11/2022, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TERNYATA urusan keahlian peragian alias fermentasi sudah dikenal sejak jaman Serat Centhinim, tempe sebagai buktinya.

Dalam syair Serat Centhini yang terbit tahun 1814, keterangan tentang tempe sebagai makanan nabati berusia 400 tahun asal Indonesia itu termuat di kompilasi dua belas jilid kisah dan ajaran Jawa.

Dokumentasi tempe pertama kali ditemukan pada tahun 1600-an di Desa Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia.

Kita jadi tahu, bahwa tempe itu barang ikonik generik asli masakan Indonesia yang dinyatakan sebagai Warisan Budaya Takbenda sejak 29 Oktober 2021 lalu.

Filosofi tempe

Cerita tempe adalah cerita luar biasa. Pernah dengar apa kata Presiden Soekarno tentang tempe?

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Demikian pidato Presiden Soekarno yang menegasi bangsa kita bukan bangsa yang lembek seperti tempe. Kita tak boleh jadi bangsa tempe.

Barangkali filosofinya benar, tak hanya lembek, tapi tempe sebenarnya juga makanan yang tak bisa mandiri jika tak dibantu ragi untuk berkembang menjadi bentuk seperti yang kita inginkan.

Ada makna “ketergantungan akut” dalam filososfi tempe itu, yang pada akhirnya terbukti adanya. Bahkan Tempe sejak jaman revolusi dikonotasikan dengan makna negatif, dan sindiran 'mental tempe', adalah bahasa satir mengganti kata lemah.

Begitupun kita kemudian menjadi bangsa pengonsumsi tempe yang fanatik dengan “ketergantungan” yang akut terhadap bahan baku tempe. Bangsa "penghasil tempe" yang "terjajah" oleh bahan baku tempe itu sendiri.

Jatuh bangun kedelai dan tempe

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan.

Lantas berapa banyak sebenarnya rata-rata kebutuhan kedelai kita? Ternyata tidak kurang dari 2,8 juta ton per tahun.

Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China, yang dominan untuk bahan baku pembuatan tempe.

Sayangnya di kebun-kebun kedelai kita, produktivitasnya justru hanya berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di Amerika Serikat (AS) mencapai 4 ton per hektar.

Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai benihnya transgenik, dan mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com