Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bisa Bikin Orang Berhenti Merokok?

Kompas.com - 24/11/2022, 20:00 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah resmi menaikan tarif cukai rokok sebesar 10 persen dengan tujuan untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok kepada masyarakat.

Kebijakan kenaikan CHT juga berlaku untuk rokok elektrik, dengan kenaikan rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HPTL, berlaku setiap tahun naik 15 persen selama 5 tahun ke depan.

Pemerintah berharap dengan naiknya cukai ini bisa menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Namun, benarkah kenaikan tarif cukai rokok bisa memengaruhi kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia?

Baca juga: Pemerintah Dinilai Perlu Susun Peta Jalan Struktur Tarif Cukai Tembakau

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AB. Widyanta mengatakan, merokok merupakan bentuk dari sosial kultural yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Indonesia dan dipakai di dalam kebiasaan kultural masyarakat.

Mengenai persoalan perokok remaja, AB Widyanta mencurigai, jangan-jangan datanya memang sudah tinggi sejak dulu, namun baru terbuka beberapa waktu terakhir karena kemajuan teknologi, dan penyebaran informasi yang semakin mudah, melalui media elektronik.

“Kita harus menjadi bangsa yang terbiasa membudayakan perencanaan jangka panjang. Jangan kita naikkan cukai rokok hanya karena krisis ekonomi tanpa ada catatan yang memadai. Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) sangat diperlukan, supaya terlihat jelas bagaimana arah ke depannya,” ujar Widyanta dalam siaran persnya, Kamis (24/11/2022).

Baca juga: Faisal Basri: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Rokok Bisa Tambah Kas Negara Rp 100 Triliun

Menurut dia, seharusnya orang Indonesia dibuat sedikit lebih pintar. Dia membeberkan, apabila cukai hasil tembakau (CHT) dibuat untuk berhenti merokok, seharusnya pemerintah bisa membuka data orang yang berhenti merokok dari CHT atau dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT).

"Apakah data penurunannya signifikan atau tidak? Karena ini berkaitan dengan efektif atau tidaknya kenaikan CHT," ungkapnya.

Dia juga menilai, kenaikan cukai rokok hanya menguntungkan pemerintah.

“Yang mendapatkan keuntungan adalah pemerintah, namun apakah berkorelasi dengan orang berhenti merokok? Realitasnya tidak. Karena orang yang punya daya beli akan terus membeli, dan orang yang tidak memiliki daya beli akan berpikir taktis, dengan membuat atau melinting sendiri dan mencari alternatif lain,” jelasnya.

Baca juga: Kenaikan Tarif Cukai dan Harga Rokok Berdampak Ganda bagi Kelangsungan IHT

Mencari alternatif lain

Hal serupa juga diungkapkan psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Mira D. Amir.

Ia mengatakan, manusia itu adaptif. Ketika harga rokok dinaikkan, orang akan berpikir taktis dan mencari alternatif lain.

“Ada juga yang bergeser ke rokok elektrik karena status, dengan klaim lebih bersih dan lebih sehat,” ujarnya.

Menurut Mira, biasanya orang mulai merokok dari lingkungan sosial. Ketika ada orang merokok di sekitarnya, maka ia mempelajari perilaku tersebut.

Namun tidak semua berakhir menjadi perokok. Ada juga yang memang merasa tidak cocok dengan tembakau. Tapi, lanjut dia, kalau dilihat dari perilaku masyarakat, biasanya yang sudah menjadi perokok berat, akan berhenti karena faktor kesehatan.

“Manusia itu cenderung berpikir bahwa penyakit akibat rokok yang terdapat dalam gambar peringatan di bungkus rokok, tidak terjadi pada dirinya, maka orang itu akan tetap merokok. Meskipun harga rokok terus dinaikkan,” ungkapnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com