JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menyoroti keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen untuk 2023 dan 2024.
Misbakhun menilai keputusan tersebut tidak menunjukkan keberpihakan pada petani. Pemerintah juga dinilai tidak obyektif dengan menjadikan narasi kesehatan sebagai dasar untuk menaikkan CHT. Salah satunya, terkait prevalensi perokok penduduk usia muda.
Ia menjelaskan, prevalensi perokok remaja di Tanah Air saat ini menunjukkan tren penurunan. Hal ini mengacu pada tabel indikator capaian kesehatan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2023.
"Berdasarkan data PPKF, persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok pada 2013 masih di angka 7,2 persen. Namun, (angka ini) mengalami penurunan hingga 3,8 persen pada 2020," ujar Misbakhun kepada Kompas.com saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/11/2022).
Baca juga: Tak Setuju Kenaikan Cukai Rokok 10 Persen, Petani Tembakau Usul 5 Persen
Perlu diketahui, pemerintah memutuskan menaikkan CHT sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024 untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).
Adapun cukai rokok elektronik naik 15 persen dan 6 persen untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).
Pada 2020, kenaikan cukai rokok sudah mencapai 23 persen. Dua tahun berikutnya, secara berturut-turut, cukai rokok mengalami kenaikan meski lebih kecil, yakni 12,5 persen pada 2021 dan 12 persen pada 2022.
"Kenaikan CHT sangat memberatkan petani tembakau dan cengkih, termasuk pekerja industri hasil tembakau. Negara ini mengayomi siapa? Lembaga swadaya masyarakat (LSM), isu agenda internasional, atau siapa?" tutur Misbakhun.
Baca juga: Ratusan Petani Demo ke Kantor Sri Mulyani Tolak Kenaikan Cukai Rokok, Ini Hasilnya
Misbakhun berpendapat, kenaikan tarif CHT rata-rata 10 persen pada 2023 dan 2024 belum tentu efektif untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia.
Ia pun menyayangkan sikap pemerintah yang hanya berfokus pada sektor tembakau guna mendorong peningkatan penerimaan negara.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah belum menunjukkan keberpihakan pada kehidupan petani tembakau. Pemerintah juga dinilai tidak menghiraukan aspirasi petani dan buruh industri hasil tembakau (IHT).
"Mata rantai industri rokok diawali oleh sektor pertanian. Sektor ini terdiri dari petani tembakau, buruh tani, dan perdagangan pertanian. Sektor pertanian tembakau ini tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah dan tidak ada anggaran satu rupiah pun terkait pertanian tembakau," jelasnya.
Baca juga: Benarkah Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bisa Bikin Orang Berhenti Merokok?
Untuk diketahui, IHT merupakan sektor primadona sebagai salah satu penyumbang perekonomian nasional terbesar lewat cukai. IHT juga termasuk salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi.
Sebagai salah satu kearifan lokal dan bagian dari kultur Indonesia, Misbakhun menilai, IHT turut memberikan sumbangan penting bagi negara yang meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai, serta menjadi komoditas bagi petani berupa tembakau dan cengkih.
Penerimaan negara dari sektor tersebut juga selalu menunjukkan pertumbuhan positif. Kontribusi IHT bahkan mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai.