Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Outsourcing, Kontrak Kerja yang Dibuat di Era Megawati

Kompas.com - 11/01/2023, 09:10 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2001-2004, Megawati Soekarnoputri sempat mengeluarkan kebijakan outsourcing yang dimuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dengan terbitnya UU Ketenagakerjaan tersebut, Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal atau resmi. 

Sejatinya, sebelum dilegalkan negara, praktik alih daya sudah lazim digunakan di berbagai sektor usaha. Masyarakat juga kerap menyebutnya usaha pemborongan, istilah lainnya dikenal pula kontraktor.

Sementara setelah dilegalkan di UU Ketenagakerjaan, penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja. Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.

Baca juga: Andai PNS Aktif Meninggal Dunia, Ahli Warisnya Dapat Apa?

Meski demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya.

Dalam beberapa kasus, para karyawan outsourcing tidak mendapat tunjangan dari pekerjaan yang dilakukannya seperti karyawan organik perusahaan.

Karyawan outsourcing juga berstatus sebagai pekerja dari perusahaan penyalur tenaga kerja. Dengan kata lain, perusahaan tempat bekerja atau perusahaan pemakai jasa outsourcing, tidak memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan pada karyawan bersangkutan.

Beberapa jenis pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan tenaga outsourcing adalah cleaning service atau jasa kebersihan, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pertambangan.

Baca juga: Nostalgia TVRI di Era Soeharto, Nonton TV Harus Bayar Iuran

Batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini sesuai dengan regulasi pemerintah yang tercantum di Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur pekerjaan alih daya.

Di UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.

"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam praktiknya, banyak pula perusahaan yang melanggar lantaran menggunakan pekerja outsourcing untuk mengerjakan pekerjaan utama.

Baca juga: Apa Itu Investasi: Pengertian, Jenis, dan Contohnya

Outsourcing di UU Cipta Kerja dan Perppu

Namun di Pasal 66 UU Cipta Kerja, tak dicantumkan batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan pekerja alih daya, hanya menyebut pekerjaan alih daya didasarkan pada perjanjian waktu tertentu dan tidak tertentu.

"Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu," bunyi Pasal 66 UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja dikhawatirkan membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com