KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Kerendahan Hati Pemimpin

Kompas.com - 11/02/2023, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI awal menjabat sampai sekarang, ciri khas Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak bisa dimungkiri adalah kerendahan hatinya. Rasanya tidak banyak pemimpin memiliki ciri setingkat itu.

Malahan banyak orang mempertanyakan, apakah kerendahan hati ini benar-benar efektif bagi kepemimpinan? Apalagi, banyak pula yang mengonotasikan sikap rendah hati dengan mengalah, pemalu, bahkan menjurus pada kelemahan.

Di lain pihak, kita kerap melihat tokoh pemimpin yang menarik perhatian dunia, seperti Steve Jobs dan Elon Musk, justru jauh dari ciri rendah hati. Mereka dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan berani mengungkapkan pemikirannya, meskipun kerap mengundang kontroversi dalam beberapa kesempatan. Konsep kerendahan hati kelihatannya tidak bercokol sedikit pun dalam kepribadian mereka.

Jadi, apakah benar kerendahan hati diperlukan seorang pemimpin?

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Seorang teman yang mendapat ucapan selamat saat diangkat menjadi chief executive officer (CEO) mengatakan, “Saya hanya ingin melihat tim saya sukses.” Komentar yang jarang kita dengar dari tokoh-tokoh high profile di atas.

Kita memang sering melihat bahwa pemimpin yang rendah hati akan mendengar lebih efektif dan fokus mengembangkan individu yang dipimpinnya mencapai kesuksesan ketimbang pemimpin yang mempunyai skor rendah dalam kerendahan hati.

Mereka yang memiliki skor rendah biasanya lebih banyak berfokus pada dirinya sendiri untuk tampil menonjol. Survei lain mengatakan bahwa pemimpin yang rendah hati fokus meningkatkan kolaborasi, kerja sama, dan fleksibilitas dalam mengembangkan strateginya.

Jim Collins dalam bukunya Good to Great menggambarkan humility sebagai salah satu kunci kepemimpinan. Ia menyebutkan bahwa “humble leaders understand that they are not the smartest person in every room. Nor do they need to be.” Biasanya, pemimpin seperti ini mendorong bawahannya untuk speak up.

Baca juga: Berpikir Strategis

Mereka pun sangat menghargai perbedaan pendapat, tidak peduli apakah pendapat itu datang dari seorang eksekutif puncak atau anggota dalam struktur organisasi terbawah sekalipun. Ia menciptakan kultur “getting the best from every team and every individual”.

Singkat kata, para pemimpin rendah hati berusaha untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya dari bawahan, bukan dari diri mereka sendiri. Kalau terjadi kesalahan, mereka yang bertanggung jawab. Akan tetapi, kredit keberhasilan akan diarahkan kepada para bawahannya.

Kepercayaan diri yang senyap

Beberapa riset menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah komponen yang paling dekat dengan kualitas positif kepribadian, seperti ketulusan, fairness, dan kejujuran. Selain itu, kerendahan hati sama sekali tidak bertentangan dengan kekuatan dan keberanian.

Bahkan, pemimpin yang sering tampil heboh ternyata belum tentu memberikan inspirasi terkait trust, cooperation, dan commitment. Betapa sering kita melihat pemimpin yang berusaha mendorong tim untuk bicara, tetapi tetap saja hanya beberapa yang bersuara.

Baca juga: Manajemen Talenta Masa Kini

Bila ingin memeriksa diri sendiri apakah kita tergolong pemimpin yang rendah hati, lakukan refleksi melalui pertanyaan-pertanyaan berikut. Tentu jawabnya haru meluncur dari hati yang jujur dan autentik.

  • Apakah kita menghargai orang lain?
  • Adakah pihak-pihak tertentu yang merasa terintimidasi dan kerap menjadi sasaran emosi kita?
  • Apakah kita mengakui kesalahan atau kekurangan dengan tulus?
  • Apakah kita menerima umpan balik konstruktif dan berusaha memperbaiki diri?
  • Apakah kita menolong bawahan untuk mengembangkan diri atau terus mengeluhkan bahwa mereka yang enggan berkembang?

Mengapa sulit untuk rendah hati?

Apakah gaya kepemimpinan dominan seperti Elon Musk benar-benar efektif bagi kemajuan organisasi? Apakah seorang individu tidak bisa rendah hati sekaligus ambisius? Apakah kita tidak bisa kompetitif, tapi sekaligus bersahabat dengan para kompetitor kita?

Belakangan ini muncul istilah humbition yang menggambarkan sosok pemimpin yang humble sekaligus juga ambisius. Pak Jokowi boleh dibilang contoh pemimpin yang menampilkan sikap ini. Tanpa perlu berkoar-koar, ia menunjukkan kerja nyata membangun infrastruktur Indonesia bagian timur yang banyak diabaikan para pemimpin sebelumnya.

Meskipun sering dihujat oleh lawan-lawan politiknya, ia tetap tenang dan semakin dihormati oleh para pemimpin dunia lain. Pemimpin humbitious ini berfokus pada kerja, bukan sekadar menampilkan citra belaka. “They seek success—they are ambitious—but they are humbled when it arrives…. They feel lucky, not all-powerful”.

Baca juga: Mencetak Pemimpin

Edgar Schein dalam bukunya Humble Inquiry mengatakan, kita hidup di dunia dengan ego mendapat banyak perhatian. Justru dengan kerendahan hati, kita dapat mendapatkan hasil.

Ia menyebut juga bahwa kerendahan hati yang efektif adalah situasi ketika pemimpin menunjukkan sikap bahwa saya tergantung padamu, tetapi di lain pihak, saya pun punya kemandirian dan pilihan.

Tim tanpa pemimpin dengan kerendahan hati sering merasa terancam kesejahteraannya. Mereka akhirnya menampilkan sikap “asal bapak senang” dan patuh tanpa sikap kritis demi menghindari konfrontasi dengan pemimpin yang arogan.

Bagaimana mungkin organisasi mendapatkan engagement dari para karyawannya ketika mereka sering merasa diintimidasi melalui komentar dan pertanyaan atasan yang sekadar ingin menunjukkan “I’m the boss”?

Baca juga: Kembali ke Kantor pada 2023

Ada beberapa hal yang bisa diusahakan pemimpin untuk dapat bersikap rendah hati.

Pertama, banyaklah bertanya dengan tujuan benar-benar untuk mendapatkan informasi.

Kedua, terima ide-ide baru anggota tim kita, sekalipun aneh, sambil berusaha memahami dari sisi pandang mereka.

Ketiga, praktikkan rasa welas asih dan gunakan inteligensi emosi kita secara optimal.

Keempat, selalu sadari bahwa apa yang kita yakini benar pada masa lalu, belum tentu benar untuk masa sekarang.

Kelima, ambil tanggung jawab ketika kesalahan terjadi sehingga bawahan pun tidak takut untuk terus bereksperimen.

Ingat, where arrogance makes headlines, humility makes a difference. Sebagai pemimpin, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita cukup kuat untuk mengakui bahwa kita tidak tahu dan bisa saja salah? Semoga jawabannya selalu: ya.


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com