Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Melawan Uni Eropa dan Membenahi Ekosistem Persawitan Nasional

Kompas.com - 11/02/2023, 14:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 6 Desember 2022, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR).

Beleid tersebut tidak hanya berlaku untuk CPO, melainkan juga untuk kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, serta produk turunannya seperti furniture dan coklat.

Intinya, negara yang tergabung dalam Uni Eropa sepakat melarang impor produk perkebunan yang dihasilkan dari deforestasi atau penggundulan hutan.

Tak terkecuali produk minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dari Indonesia, yang notabene adalah penghasil CPO terbesar dunia pada hari ini.

Sejak tahun 2017-2018 lalu, Pemerintah Indonesia terus mengupayakan perlawanan, namun hasilnya sangat mengecewakan.

Uni Eropa, secara konsisten gagal untuk melihat fakta bahwa kelapa sawit memiliki efisiensi dan produktivitas sangat tinggi yang berpotensi menyumbang konservasi lingkungan dalam jangka panjang sebagai "global land bank" bila dibandingkan dengan minyak sayur lainnya.

Terlebih lagi, kelapa sawit juga sepuluh kali lipat lebih efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan minyak "rapeseed" Eropa.

Oleh karena itu, kebijakan untuk menghilangkan kelapa sawit dari program biofuel sebagai sumber energi terbarukan oleh Eropa merupakan kebijakan perdagangan yang proteksionis ketimbang sebuah upaya pelestarian lingkungan.

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjamin dan mempertahankan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pengembangan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dan regulasi.

Bahkan dinyatakan, industri minyak sawit Indonesia telah terbukti berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).

Artinya, terima atau tidak, Uni Eropa pada waktunya nanti akan hilang dari radar pemasaran produk CPO Indonesia.

Jika ditinjau ke belakang, pada mulanya pemerintah Perancis mengawali kampanye anti-CPO tersebut dengan memberlakukan pajak progresif untuk ekspor produk minyak kelapa sawit atau CPO yang masuk ke Perancis sebesar EUR 90 per ton.

Meski nilai pajak tersebut lebih rendah dari usulan awalnya yang sebesar EUR 300 per ton, tapi angka tersebut tetap ditolak oleh pelaku usaha kelapa sawit, baik di Indonesia maupun Malaysia.

Jika ditilik secara teknis, sebenarnya pasar Perancis tidak terlalu besar. Namun yang dipermasalahkan dari pemberlakuan pajak progresif itu adalah cara yang dipilih pemerintah Perancis dalam memberlakukan pajak ekspor CPO.

Konon yang tidak disukai oleh pelaku bisnis CPO dalam negeri adalah teriakan Perancis yang sangat lantang soal CPO karena ditakutkan justru bisa memengaruhi negara Uni Eropa lainnya.

Ketakutan tersebut akhirnya terbukti dan menjadi masalah besar untuk pengusaha sawit Indonesia kini.

Kampanye negatif yang dilancarkan di pasar ekspor terutama Uni Eropa, dengan tudingan minyak sawit asal Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi tantangan berat bagi industri sawit sekarang ini.

Sejauh ini, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih di bawah China, India, dan Pakistan. Isu deforestasi menjadi sangat sensitif di industri kelapa sawit.

Terlepas apapun motifnya, alasan tersebut akhirnya kemudian melatarbelakangi Perancis untuk mengenakan pajak progresif bagi produk CPO dalam negeri.

Di Perancis, kebijakan tersebut rencananya akan berlaku pada 2017 lalu sebesar 300 euro per ton dan terus naik sampai 2020 menjadi sebesar 900 euro per ton.

Namun akhirnya, Perancis melunak dengan mau menurunkan pajak dari semula 300 euro menjadi 90 euro per ton, setelah upaya lobi yang terus dilakukan pemerintah Indonesia.

Seiring dengan itu, tuntutan regulasi semakin ketat mengatur keberadaan perkebunan kelapa sawit. Mulai dari Sustainability Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO).

Sertifikasi ini belum termasuk komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang dibentuk perusahaan eksportir CPO raksasa sejak 2014 silam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com