Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Efek Perlambatan Ekonomi Global Mulai Terasa

Kompas.com - 21/02/2023, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERLAHAN-LAHAN perlambatan ekonomi global mulai terasa di Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa indikator.

Pertama, neraca perdagangan (trade balance), meskipun masih bertengger di zona surplus, mulai memperlihatkan perlambatan. Ini adalah dampak dari perlambatan ekonomi global seturut terjadinya perlambatan permintaan global.

Berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS), nilai ekspor Januari 2023 mencapai 22,31 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau turun 6,36 persen (mtm) dibanding Desember 2022.

Dari data BPS pula, terlihat, tren penurunan ekspor terus menurun sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023. Sementara secara tahunan, pertumbuhan ekspor Januari 2023 pun mengalami perlambatan dibanding pertumbuhan Januari 2022. Pada Januari 2023, pertumbuhan ekspor 16,37 persen (yoy), sementara di bulan Januari 2022, pertumbuhan ekspor 25,32 persen (yoy).

Windfall ekspor masih berlanjut, tetapi cenderung tergerus akibat beberapa komoditas unggulan mengalami penurunan volume ekspor dan harga. Ekspor nonmigas menyumbang 93,34 persen dari total ekspor di bulan Januari 2023.

Baca juga: Sri Mulyani: Ekonomi Global Diprakirakan Akan Tumbuh Lebih Lambat akibat Resesi di AS dan Eropa

Secara sektoral, pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 0,37 miliar dolar terhadap total ekspor. Tambang dan lainnya 4,81 miliar dolar dan industri pengolahan menyumbang 15,65 miliar dolar.

Penurunan nilai ekspor komoditas besi dan baja serta minyak kelapa sawit disebabkan oleh penurunan volume ekspor, sementara untuk komoditas batu bara selain karena penurunan volume juga dipengaruhi penurunan harga.

Penurunan terbesar ekspor nonmigas ke beberapa mitra dagang pada Januari 2023 dibanding Desember 2022 terjadi pada China sebesar –555,0 juta dolar, India -305,7 juta dolar, Pakistan -251,7 juta dolar, Vietnam –219,8 juta dolar, dan Jepang - 187,2 juta dolar. Penurunan ekspor komoditas ke China disebabkan negara itu membuka kembali keran impor batu bara dari Australia. Inilah yang menyebabkan permintaan China terhadap emas hitam asal Indonesia mengalami koreksi.

Setali tiga uang dengan India yang tengah memacu produksi batu bara dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sementara Pakistan tengah dirundung resesi dan default yang menyebabkan permintaan ke Indonesia menjadi menurun.

Global demand shortage atas beberapa komoditas andalan ekspor Indonesia juga menyebabkan turunnya nilai ekspor. Seperti harga batu bara, dari data Trading Economics, terjadi koreksi harga yang cukup dalam sebesar 84,9 persen (year to date/ytd).

Pada 1 Januari 2023, harga batu bara di pasar adalah 385,56 dolar/MT dan pada 20 Februari 2023, turun menjadi 208,47 dolar/MT. Koreksi harga yang tajam ini pula yang membuat kontribusi ekspor batu bara terhadap penerimaan ekspor Indonesia cenderung menurun.

Dinamika harga yang sama terjadi pada CPO (crude palm oil). Berdasarkan data BPS, ekspor lemak dan minyak hewani/nabati mengalami penurunan sebesar -342,2 juta dolar. Dari IndexMundi, harga sawit dolar/MT terus mengalami penurunan dari 1,056.64 dolar/MT pada Juli 2022 menjadi 940,39 dolar/MT di akhir 2022.

Saat ini harga sawit di posisi 924,25 dolar/MT. Tren harga yang turun dan di saat yang sama pemerintah masih memberlakukan pungutan ekspor sawit 7,17 persen. Inilah yang membuat kontribusi ekspor sawit terhadap ekspor cenderung lambat dan terjadi penumpukan pasokan.

Tren penurunan yang sama juga terjadi pada kontribusi ekspor komoditas lain seperti bijih besi, nikel, minyak mentah, dan gas alam.

Koreksi terhadap neraca perdagangan di awal 2023 pun bisa memicu defisit transaksi berjalan atau CAD (current account deficit) setelah sepanjang 2022 bertengger di zona surplus.

Baca juga: Jokowi Tidak Akan Berhenti Larang Ekspor buat Hilirisasi, Meski Digugat WTO

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com