Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Potensi Pasar Karbon Syariah

Kompas.com - 10/03/2023, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERUBAHAN iklim merupakan salah satu risiko paling serius bagi panet Bumi. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, pemerintah telah menetapkan nationally determined contribution (NDC) atau kontribusi nasional berupa target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan eksternal hingga tahun 2030.

Upaya pencapaian NDC Indonesia harus segera dimulai karena tingkat emisi karbon semakin mengkhawatirkan. Selain untuk menghindari potensi bencana akibat pemanasan global, juga untuk menghadapi regulasi perubahan iklim negara lain.

Baca juga: Siapkan Bursa Karbon, BEI Pelajari Penerapan di Malaysia, Korea, hingga Uni Eropa

Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia menyumbang 75 hingga 80 persen kredit karbon dunia. Artinya, secara tidak langsung Indonesia bertanggung jawab atas sebagian besar potensi dunia untuk menghasilkan carbon offset, yaitu skema yang memungkinkan individu dan perusahaan berinvestasi dalam proyek lingkungan untuk menyeimbangkan jejak karbon mereka sendiri.

Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial dalam pelaksanaan perdagangan kredit karbon global.

Dalam lingkup nasional, perdagangan karbon memberikan kontribusi hingga lebih dari 150 miliar dolar AS bagi perekonomian Indonesia. Perdagangan karbon yang terorganisir melalui pasar atau bursa akan memudahkan Indonesia mencapai target yang telah ditetapkan dengan biaya minimal, sekaligus dapat memaksimalkan peluang di pasar perdagangan karbon internasional.

Maka itu, sangat penting untuk menyoroti peran keuangan syariah berbasis pasar karbon dalam mengurangi efek perubahan iklim. Membangun integrasi pasar karbon syariah ke dalam sistem pasar karbon nasional adalah kuncinya. Agar pasar karbon syariah berhasil, pengurangan dan penghapusan emisi harus selaras dengan NDC nasional.

Selain itu, perlu ada transparansi dalam infrastruktur kelembagaan dan keuangan untuk transaksi pasar karbon syariah. Saat ini belum ada lembaga dan sistem yang mengakomodasi kompleksitas pasar karbon yang sesuai syariah.

Hal ini sangat mendesak mengingat risiko manipulasi izin dan harga karbon kian tinggi. Maka, upaya mitigasi untuk menahan laju tindakan penipuan dan pencucian uang melalui pasar karbon semakin tak bisa ditawar lagi.

Selain itu, sudah tradisi di Indonesia, setiap muncul model transaksi keuangan baru, masyarakat acap kali mencari model pembanding yang sesuai syariah. Hal ini wajar, karena penduduk Indonesia mayoritas muslim. Inilah yang membuat potensi pasar karbon syariah kian besar.

Untuk mengakomodasi hal tersebut, melalui kerjasama International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) dan komunitas pasar karbon dunia, fatwa pertama kredit karbon sebagai komoditas pendukung keuangan syariah resmi dirilis di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2022 (COP27) di Sharm El Sheikh, Mesir tahun lalu. Ini merupakan tonggak penting dalam membangun sistem pasar karbon syariah secara global.

Bisa Mencontoh Bursa Karbon Syariah Malaysia

Berdasarkan fatwa tersebut, Bursa Malaysia meluncurkan Bursa Carbon Exchange (BCX) yang memperdagangkan kredit karbon sejalan dengan prinsip Islam atau syariah, sekaligus menjadi bursa karbon syariah pertama di dunia. Aktivitas perdagangan pun dimulai pada Maret 2023 dengan mekanisme lelang untuk membentuk harga kredit karbon dengan standar baru.

BCX bisa menjadi bursa percontohan bagi negara-negara yang ingin menerapkan prinsip syariah pada pasar karbon, termasuk Indonesia. Selama ini, tantangan pelaku pasar karbon sering mengalami kesulitan menavigasi standar yang berbeda. Selain itu, sangat sulit menemukan transparansi harga atau menentukan kredit karbon berkualitas tinggi.

Baca juga: Perkembangan Perdagangan Karbon di Indonesia

Hal ini membatasi akses ke pembiayaan dan meningkatkan biaya verifikasi bagi pengembang proyek-proyek kecil. Rintangan semacam ini tentu dapat menghambat aliran modal dari para investor yang berkomitmen pada proyek rendah emisi.

Atas pertimbangan itu, sistem perdagangan karbon yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan prinsip syariah. Menolak atau menyatakan perdagangan karbon tidak sah bukanlah solusi, karena Islam tidak menentang berbagi beban pengelolaan sumber daya alam.

Jika industri keuangan syariah tidak terintegrasi ke dalam pasar karbon, maka ekonomi dan lingkungan berada di tangan pelaku pasar karbon konvensional dengan jaringan yang lebih luas. Dikhawatirkan, perdagangan ini didominasi oleh elite dan korporasi yang melayani kepentingannya sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com