KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Mentalitas Silo

Kompas.com - 18/03/2023, 08:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI pelanggan, ada kalanya kita merasakan ketidakharmonisan hubungan internal pemberi jasa. Salah satu contohnya adalah komunikasi yang terasa tidak seamless di antara mereka.

Dalam kondisi itu, pelanggan juga kerap merasa “dipingpong” alias dilempar sana-sini tanpa kejelasan informasi. Bagian-bagian yang seharusnya menjawab keluhan pelanggan justru lepas tangan. Mereka berharap, para pelanggan itu bisa mengupayakan sendiri penyelesaian masalahnya dengan menghubungi bagian lain sembari berulang-ulang menjelaskan permasalahannya.

Tidak ada kesinambungan dalam layanan yang diberikan oleh organisasi. Padahal, ketika kemajuan teknologi sudah begitu canggih, integrasi beragam proses seharusnya sudah menjadi standar organisasi. Inilah yang bisa kita sebut sebagai gejala “silo” dalam organisasi.

Secara harfiah, silo berarti cerobong asap. Bila berada dalam cerobong asap, pandangan kita terhalang. Jadi, meskipun berada di tempat tinggi, kita tidak bisa melihat seluruh area secara menyeluruh.

Dalam organisasi, mentalitas silo seolah-olah membutakan para pekerja terhadap apa yang dilakukan oleh divisi lain. Masing-masing hanya sibuk dengan ruang lingkupnya sendiri, ketimbang ikut bertanggung jawab dan berkolaborasi terhadap permasalahan pelanggan.

Padahal, ketidakpedulian terhadap big picture perusahaan akan berdampak terhadap hal lain.

Indikator silo

Kondisi silo biasanya terjadi ketika komunikasi dan transparansi tidak lagi berjalan dengan mulus. Dalam komunikasi yang banyak dilakukan secara virtual, kondisi silo bisa terjadi tanpa disadari dan terdeteksi.

Zaman dulu, kondisi tersebut dapat terdeteksi dengan mudah. Contohnya, ketika sekelompok orang sedang asyik berdiskusi, tetapi tiba-tiba terhenti karena ada orang lain yang berusaha bergabung dalam kegiatan tersebut.

Kini, sebagian besar diskusi dilakukan secara virtual. Bisa saja kita berusaha membuat komunikasi lebih transparan dengan membuat grup WhatsApp yang melibatkan semua orang.

Namun, di satu sisi, seseorang bisa saja membuat grup lain sehingga diskusi dalam grup pertama menjadi terlihat miskin sekali dan hanya berbagi informasi umum. Padahal, ada banyak inisiatif yang muncul dan sudah dijalankan tanpa proses diskusi dalam grup.

Gejala yang bisa dirasakan karyawan adalah adanya “us versus them mentality” di masing-masing divisi. Kita tahu bahwa ada masa ups and downs dari setiap divisi. Ada masa ketika satu divisi dikejar deadline ataupun sedang mendapatkan masalah besar.

Suasana tidak mau tahu tentang permasalahan yang sedang dihadapi oleh divisi lain karena merasa beban kerja divisinya sudah cukup berat mendorong kemunculan mentalitas us versus them.

Karena tidak ada kebersamaan untuk menanggung beban tersebut, karyawan jadi merasa kesepian dan menimbulkan rasa tidak aman.

Boleh dibilang, indikator utama dari kondisi silo ini adalah keengganan untuk berbagi, baik informasi maupun tanggung jawab.

Dampak paling ekstrem dan merugikan bisa terjadi bila silo dirasakan oleh pelanggan.
Pelanggan dapat merasa lelah karena harus berurusan dengan banyak divisi dari organisasi atau bingung siapa yang sebenarnya harus ditemui untuk menyelesaikan persoalannya.

Minim rasa percaya antara satu sama lain dalam organisasi yang dirasakan oleh pelanggan juga dapat menurunkan rasa percayanya terhadap organisasi kita.

When communication is scarce in a big business, achieving the same goal and looking at the big picture becomes a daunting task.

Dalam kondisi seperti itu, sikut-menyikut, saling lempar tanggung jawab, dan persaingan untuk memenangkan citra kesuksesan akan tumbuh dengan subur.

Melebur tirai di organisasi

Tidak berarti bahwa setia kawan dan semangat berkompetisi dilarang dalam organisasi. Setiap divisi tetap perlu berupaya membangun kekompakan dan berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai target internal. Sebab, keberhasilan setiap divisi adalah penentu keberhasilan organisasi.

Namun, jika dalam prosesnya ada divisi yang tutup mata terhadap kesulitan divisi lain atau bahkan berusaha menjegal kesuksesan divisi lain, di sinilah manajemen perlu waspada dan membangun langkah-langkah perbaikan.

Ketidakkompakan sebuah tim olahraga merupakan tanggung jawab pelatih. Sementara, silo dalam organisasi merupakan red flag bagi pimpinan untuk wawas diri.

Ketika ada anggota tim atau divisi dalam organisasi yang menjadi “anak emas”, berebut resources dari bujet yang terbatas, atau saat keberhasilan suatu divisi dirayakan dengan meriah, sedangkan pencapaian divisi lain dianggap sudah sewajarnya, di situlah bibit-bibit silo mulai berkembang.

Di sinilah, peran pemimpin menjadi penting untuk bersikap adil terhadap semua divisi yang ada. Hal ini bisa diawali dengan membuka komunikasi secara transparan dengan berbagai pihak yang terlibat.

Upayakan agar keputusan sudah dikonfirmasi ke bagian lain sebelum diimplementasikan. Budaya check and balance perlu ditanamkan kepada setiap orang di perusahaan. The more people who communicate effectively in your organization, the better.

Pembentukan tim lintas kolaborasi juga akan membuat anggota tim terbiasa untuk bekerja dan mengenal orang-orang di luar divisi dan keahliannya. Hal ini sangat baik bagi pengembangan kreativitas dan inovasi.

Keberadaan sistem yang terintegrasi akan membantu komunikasi menjadi lebih lancar tanpa perlu membuang waktu terlalu banyak. Setiap pihak yang terlibat dapat menambahkan data yang merupakan tanggung jawab bagiannya.

Sementara itu, pihak lain bisa langsung mendapatkan info terbaru yang mereka butuhkan. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk mencegah kerja berulang ataupun saling tunjuk kesalahan.

Setiap orang ataupun divisi dapat melihat kontribusinya terhadap keseluruhan proses dengan lebih jelas. Dengan begitu, mereka pun dapat memfokuskan energinya pada pencapaian sasaran perusahaan dan semangat persaingan ke arah luar organisasi.

Silo membangun tembok di pikiran orang dan menciptakan penghalang di hati organisasi.” - Pearl Zhu.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com