Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sering Berbeda Data Produksi Beras, Kementan Tegaskan Kutip Data BPS

Kompas.com - 04/04/2023, 20:45 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menegaskan bahwa pihaknya selalu menggunakan data dari Kerangka Sampling Area dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mencatat data beras yang diproduksi di Tanah Air.

“Kerangka sampling itu menggunakan teknologi, sudah pakai satelit kerjasama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sehingga, populasinya atau luasan total yang di-cover itu luas baku sawah 7,4 hektar itu dipotret dengan satelit,” kata Dirjen Suwandi saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IV DPR RI dikutip dari Antara, Selasa (4/4/2023).

Satelit KSA tersebut, lanjutnya, mempunyai titik sampling di 220 ribu titik yang dapat memperlihatkan detail kondisi lahan pertanian mulai dari tanaman vegetatif, generatif hingga tanaman dengan potensi gagal panen.

Titik sampling yang tersebar di berbagai provinsi itu juga diamati setiap bulan oleh petugas BPS provinsi, kabupaten maupun kecamatan.

Baca juga: Buwas Beberkan Modus Mafia Raup Untung Besar dari Beras Impor

Melalui pantauan satelit dan pantauan langsung petugas BPS yang independen itu, KSA mempunyai dua data. Pertama data final yang akan keluar setelah sebulannya dan yang kedua adalah data perkiraan.

“Misalnya untuk sekarang ini bulan Maret. Jadi angka yang sudah final adalah Januari-Februari dan sebelumnya. Kalau untuk bulan Maret baru selesai mendata, nanti akan keluar tanggal 20 (April),” ujarnya.

Sedangkan untuk data perkiraan merupakan data prediksi yang didapat sebulan sebelum panen terjadi. Misalnya, saat mengecek lahan pertanian di bulan Februari, petugas BPS akan turut mengamati fase pertumbuhan padi.

“Itu dilihat yang sudah kuning-kuning atau generatif. Luasan yang kuning itu, padi generatif itu untuk memprediksi panen Maret," kata Suwandi.

"Kemudian untuk bulan April pakai perkiraan itu dari kondisi pertanaman vegetatif yang hijau tapi sudah umur 50 hari 60 hari. Sedangkan untuk melihat Mei, itu dari vegetatif yang masih hijau umur 10 hari sampai 40 hari,” jelasnya.

Baca juga: Versi Buwas, Biang Kerok Beras Masih Mahal Gara-gara Ulah Mafia

Terkait penghitungan produktivitas, Suwandi menegaskan bahwa biasanya BPS akan menggunakan angka produktivitas berdasarkan hasil amatan terlebih dahulu. Barulah ketika angka tetap sudah didapatkan akan diterbitkan angka produktivitas yang baru.

“Sehingga, untuk menghitung produksi tahun 2022 yang lalu, itu angka tetap baik produksi produktivitas, metode ubinan itu diumumkan pada 1 Maret kemarin itu final," beber Suwandi.

"Tapi angka sebelumnya masih angka sementara. Dari angka itu baru ketemu produksi beras Tanah Air selama 2022 itu luas panennya 10,45 juta hektar, keluar berasnya 31,54. Itu yang angka terakhir itu dan setiap tahun juga begitu,” tegasnya lagi.

Dengan data dari BPS itu, Kementerian Pertanian selalu optimis kalau produksi beras dalam negeri surplus, meski pada kenyataannya harga beras naik dan pemerintah beberapa kali melakukan impor.

“Jadi gimana surplus terus setiap tahun? Betul, surplus itu rumus KSA BPS ini dengan perhitungan berapa diproduksi setahun dikurangi konsumsi setahun, selisihnya itu surplus,” sambung dia.

Baca juga: Pentingnya Pembenahan Data Beras Nasional

Polemik Data Beras

Polemik perbedaan data beras memang jadi masalah sejak lama. Menteri PPN/Kepala Bajppenas, Suharso Monoarfa pernah menyinggung soal data pangan terutama beras yang kerap berbeda tiap tahunnya hingga sekarang ini menjadi sorotan banyak kalangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com