Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mengapa Pembangunan Ekonomi Harus Ramah Lingkungan?

Kompas.com - 11/04/2023, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOTA London dibelah oleh sebuah sungai bersejarah, Sungai Thames, yang sudah lebih dari setengah abad dianggap sebagai sungai yang sangat layak untuk mendukung kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota London, terutama dari perspektif ekonomi berkelanjutan.

Kondisi hari ini tak lahir begitu saja, tapi buah dari usaha yang panjang dan bauran kebijakan prokonservasi yang konsisten dari pemerintah Inggris Raya.

Inggris mengeluarkan anggaran yang besar untuk mengembalikan kondisi Sungai Thames sebagaimana kondisi awalnya. Karena pada era awal revolusi industri, Sungai Thames sempat menjadi bulan-bulanan limbah industri.

Lalu pada perang dunia kedua, setelah hujan bom dari Reich Ketiga (Rezim Hitler), terutama roket varian V1 dan V2 besutan Von Braun, merusak sebagian kota ini.

Walhasil, saluran kotoran rumah tangga dan perkantoran bocor, lalu mengalir ke Sungai Thames. Sampai-sampai ketika itu, para peneliti lingkungan menyebutnya dengan sebutan "sungai saluran kotoran".

Butuh bertahun-tahun pascaperang dunia kedua bagi sungai ini untuk kembali membaik sebagaimana hari ini, kembali seperti kejernihan Sungai Thames di era Raja Hendry VIII, yang punya 6 istri dan banyak selir itu.

Ketika itu, sekira 500 tahun lalu, kebijakan prokonservasi pertama untuk Sungai Thames dilahirkan, yakni kebijakan pelarangan penangkapan beberapa jenis ikan dan belut untuk menjaga keberlanjutan beberapa jenis biota sungai.

Pun di Wimbledon, beberapa dekade lalu, banyak kincir air ukuran sedang dan kecil yang "nyempil" di sungai, berjejer di sisi sungai yang membuat sesak pemandangan dan menghadiahi Sungai Wandle dengan limbah-limbah industri rumahan saban waktu.

Industri sedang dan kecil mengambil energi dari sungai, sembari membuang limbah ke dalamnya. Namun saat ini, kondisi sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi kincir air, sisi-sisi sungai terlihat bersih, pun airnya juga terbilang sangat jernih.

Kebijakan penertiban dilakukan secara ketat dan konsisten oleh otoritas lokal atas nama kelestarian sungai dan habitat biota yang ada di dalamnya. Hari ini, Sungai Wandle dan Thames sudah menjadi bagian dari destinasi wisata kota London.

Bahkan, tidak kurang dari 700-800 singa laut berlabuh di mulut Sungai Thames setiap musim panas, karena kondisinya yang sudah sangat bersahabat dengan hewan.

Sungai Thames menjadi objek wisata unik tersendiri, yang membuat orang semakin ramai datang ke London. Begitulah Green Tourism dijalankan secara konsisten di salah satu kota terbesar di dunia ini.

Namun berbeda kondisinya di Jakarta, misalnya, atau di kota-kota besar di Indonesia. Sungai-sungai dengan santai mengalirkan sampah, kotoran, limbah, dan rongsokan, ke lautan. Penataan selokan-selokan air diletakkan pada daftar terbawah dalam pebangunan fisik kota.

Lalu saat curah hujan meninggi, banjir datang, semua pihak saling adu teori tentang siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab.

Penguasa terpilih di kota-kota besar selalu sulit tidur saat musim hujan datang, karena bisa berimbas pada "kenyamanan kursi" mereka di Balai Kota.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com