Oleh: Frangky Selamat*
PADA satu kesempatan sempat termuat iklan penawaran waralaba di sebuah media dengan kalimat provokatif, kira-kira begini: Bisnis yang tidak mengenal krisis? Pendidikan!
Benarkah demikian? Sejumlah pengelola lembaga pendidikan atau sekolah masih malu-malu mengakui bahwa usaha mereka murni bisnis.
Bahkan tak sedikit yang membantah dan menyatakan bahwa lembaga yang mereka kelola adalah usaha sosial yang tak berorientasi pada keuntungan.
Pesatnya perkembangan waralaba di Indonesia memungkinkan segala bidang usaha diwaralabakan tak terkecuali pendidikan.
Beberapa yang ditawarkan adalah bimbingan belajar, sekolah bahasa, sekolah musik, sekolah menggambar, taman kanak-kanak dan sebagainya.
Sekarang siapapun pebisnis yang memiliki minat dalam bidang pendidikan dapat memiliki sekolah dengan persyaratan relatif mudah. Mereka tak perlu berlatar belakang ilmu pendidikan atau pengalaman khusus, yang penting minat dan kemauan.
Ketika pendidikan telah menjadi produk yang diperjualbelikan, pengelolaan sekolah tidak dapat menerapkan gaya konvensional.
Sekolah yang dikelola tanpa kreativitas dan inovasi akan mengakibatkan sekolah kekurangan siswa karena dijauhi peminatnya, sumber daya manusia yang lemah karena tidak ada pengembangan dan penerapan metode pembelajaran ketinggalan zaman.
Mau tak mau wirausaha yang bergelut dalam bisnis pendidikan harus mengelola sekolah dengan semangat yang berbasis pada kewirausahaan sosial (social entrepreneurship).
Sesungguhnya tak ada satu pun definisi yang tegas mengenai kewirausahaan sosial. Dalam tatanan global, kewirausahaan sosial telah menjadi gerakan yang bertujuan memengaruhi perubahan sosial yang positif.
Kewirusahaan sosial menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan untuk menciptakan nilai sosial yang berkelanjutan secara ekonomis.
Metode dan eksekusi bersifat entrepreneurial di mana misi dan tujuan digerakkan oleh kebutuhan dan manfaat sosial (Timmons, 2009).
Secara sederhana kewirausahaan sosial merupakan proses yang meliputi identifikasi masalah sosial dan penciptaan solusi spesifik atas masalah sosial tersebut (Jeffrey Robinson, 2006).
Entitas bisnis didirikan untuk menawarkan solusi kreatif atas masalah sosial yang timbul di dalam masyarakat. Entitas bisnis tersebut dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu yang didirikan berdasarkan misi sosial, usaha dengan konsekuensi sosial dan usaha nonprofit (H. Neck dkk, 2009).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya