Hari penyampaian pidato itu kemudian pada 2016 ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016. Lalu, pada 21 Juni 1970, Presiden Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada umur 69 tahun.
Sekarang, 48 tahun setelah Soekarno wafat, namanya tetap bergaung begitu kencang di Indonesia. Hebatnya, ini tetap terjadi meskipun di era Orde Baru terjadi apa yang banyak disebut sebagai proses de-Soekarno-isasi secara sistematis.
Upaya de-Soekarno-isasi itu mulai dari usaha mengaburkan peran Soekarno dalam proses kelahiran Pancasila, sampai digantinya berbagai kebijakan-kebijakan strategis Presiden Soekarno.
Dulu, beragam buku dan tulisan Bung Karno sempat sulit ditemukan. Bagi yang berhasil menemukannya, sudah seperti mendapati harta yang hilang.
Contohnya, buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Buku ini sempat disematkan istilah buku terlarang, tetapi sekarang sudah dapat dibeli dengan mudah di toko buku.
Begitu era Reformasi, nama dan pemikiran Soekarno kembali banyak menghiasi pemikiran-pemikiran dan dialektika kebangsaan Indonesia.
Itu menunjukkan bahwa nama, pemikiran, dan reputasi Soekarno sudah seperti menjadi sebuah brand dengan popularitas dan loyalitas yang melintasi batas ruang dan waktu.
Brand Soekarno
Popularitas dan loyalitas adalah dua hal utama yang selalu ingin dicapai dalam penerapan ilmu brand, baik itu brand terkait figur, kegiatan, maupun produk.
Itu mengapa mempelajari Soekarno sebagai sebuah brand menjadi sangat menarik. Brand Soekarno sudah mencapai sebuah titik puncak meskipun sempat diterpa oleh aksi de-Soekarno-isasi yang masif.
Begitu kuatnya brand Soekarno, sampai-sampai di beberapa negara nama Soekarno turut diabadikan di sana. Ada Masjid di kota St Petersburg, Rusia, yang dikenal sebagai Masjid Soekarno. Lalu ada nama jalan di kota Rabat, Maroko, bernama Soekarno.
Maka tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa saat kita menyebut nama Indonesia maka salah satu visual yang muncul di ingatan kita adalah Soekarno. Atau, “Ingat Indonesia, ingat Soekarno”. Itulah salah satu wujud nyata kuatnya personal brand Soekarno.
Membangun personal brand
Dalam membangun sebuah personal brand (branding figur/sosok), ada tiga komponen yang umumnya menjadi bahan baku, yaitu kepribadian, rekam jejak, dan pemikiran.
Contoh personal brand yang dibangun begitu kuat dengan komponen kepribadian adalah Richard Branson, pendiri Virgin Group.
Memang dia adalah pengusaha yang sukses, tapi personal brand-nya menjadi sangat menonjol di benak banyak orang karena kepribadiannya yang unik dan berbeda dengan para pengusaha besar di jamannya.
Dia bahkan beberapa kali melakukan aksi-aksi yang banyak orang akan bilang aneh, seperti mencoba mengelilingi dunia dengan balon udara. Melalui aksi-aksi unik seperti itu, brand Branson terus terbangun karena keanehan dan keunikan kepribadian seorang Richard Branson.
Adapun untuk contoh membangun personal brand dengan komponen rekam jejak, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Putri Diana.
Aksi-aksi kemanusiaan Putri Diana memikat perhatian dan diingat begitu banyak orang sampai sekarang, seperti saat dia mengunjungi Bosnia dan Angola kemudian berjalan menyusuri ladang ranjau.
Tidak terbayang sebelumnya oleh orang bahwa seorang putri kerajaan akan mau turun langsung menggalang dukungan bantuan untuk korban ranjau. Berkat rekam jejak-nya di bidang kemanusiaan itulah brand Putri Diana terbangun dengan kuat.
Lalu, Bung Karno kembali dapat menjadi contoh yang begitu kuat untuk menunjukkan bagaimana sebuah personal brand dibangun dengan komponen Pemikiran.
Seperti pledoi Indonesia Menggugat, kemudian pidato Pancasila 1 Juni 1945, sampai berbagai tulisan dan pidato-pidatonya sebagai Presiden Republik Indonesia, semua itu adalah pemikiran Bung Karno yang sampai sekarang terus menerus memikat, dicetak ulang, dibaca, dan disebarkan oleh banyak orang.
Pemikiran Soekarno dan komunikasi 3M
Lebih istimewa lagi, hampir setiap saat Soekarno mengutarakan pemikirannya ke publik (rakyat), dia tampak selalu menggunakan rumus 3M dalam berkomunikasi, yaitu mencerahkan, menghibur, dan menggerakkan.
Mencerahkan artinya selalu memberikan informasi yang baru, mendidik, dan membuka perspektif para pendengar atau pembaca pemikirannya.
Contohnya, dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945, ketika Soekarno secara runut menjelaskan berbagai bentuk dasar negara yang ada di dunia saat itu, sebelum kemudian mengutarakan dan mengajukan Pancasila sebagai dasar negara yang tepat untuk Indonesia.
Dalam proses penjelasan yang runut tersebut, Soekarno memberikan pencerahan kepada para pendengar dan pembaca tulisan pidatonya, terutama tentang mengapa dia mengajukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan apa makna dari Pancasila itu sendiri yang dia sarikan menjadi Ekasila yaitu gotong royong.
Menghibur artinya selalu membuat orang terpikat dengan apa yang ingin kita sampaikan.
Kita sering dengar cerita bahwa Bung Karno adalah orator yang unggul. Bahkan, orang zaman dulu akan duduk tenang di samping radio menyimak dengan serius apa yang akan disampaikan Soekarno.
Seseorang bisa saja memiliki pemikiran yang hebat, tapi jika dia gagal memikat perhatian orang maka pemikirannya menjadi seperti berlian yang tenggelam dalam kegelapan. Tidak akan ada orang yang menyadari bahwa pemikirannya itu hebat.
Adapun menggerakkan adalah bagian sangat penting dalam sebuah komunikasi. Sebab, inti dari komunikasi bukanlah menyampaikan sesuatu, melainkan membuat orang lain untuk berpikir dan melakukan sesuatu yang kita inginkan.
Inti komunikasi itu seperti ketika Soekarno mengutarakan tentang Revolusi Mental sebagai Gerakan Hidup Baru rakyat Indonesia dalam amanat-nya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 17 Agustus 1957 yang berjudul “Satu Tahun Ketentuan”.
Ketika kita membaca lagi amanat itu, terlihat bahwa Soekarno tidak hanya ingin menjelaskan apa itu Gerakan Hidup Baru, tapi dia lebih ingin menyemangati dan menggerakkan rakyat Indonesia untuk melaksanakannya.
Personal brand butuh ketulusan
Namun, pada akhirnya yang paling penting dalam membangun sebuah personal brand yang kuat adalah ketulusan.
Ketika seseorang itu aslinya adalah sosok yang pendiam, tidak baik kita membangun personal brand-nya sebagai seseorang yang banyak bicara.
Atau, ketika seseorang itu aslinya adalah sosok yang senang turun ke lapangan, akan canggung untuk membangun personal brand dirinya sebagai seorang yang sering duduk di belakang meja.
Bisa saja personal brand dibangun tanpa ketulusan atau tidak sesuai dengan sifat asli seseorang, tapi itu akan membuat personal brand-nya menjadi lemah dan tidak akan tahan teruji oleh waktu.
Dalam brand Soekarno, kita merasakan ada ketulusan terutama dalam hal membangun bangsa dan negara.
Dalam berbagai pemikirannya kita melihat ada konsistensi cita-cita Presiden pertama Republik Indonesia. Itulah yang membuat brand Soekarno menjadi begitu kuat dan akan terus menguat seiring waktu berjalan.
https://money.kompas.com/read/2018/06/13/185918226/kuatnya-brand-soekarno