JAKARTA, KOMPAS.com - Kementrian Perindustrian (Kemenperin) siap memacu ekspor industri otomotif dengan harmonisasi skema Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dalam aturan baru ini, PPnBM tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, namun pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Semakin rendah emisi, maka semakin rendah tarif PPnBM kendaraan.
“Insentif baru yang dikeluarkan pemerintah ini disederhanakan menjadi berbasis emisi. Skema harmonisasi ini diharapkan bisa mengubah kendaraan produksi dalam negeri menjadi rendah emisi, meningkatkan investasi dan memperluas pasar ekspor," kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto, Rabu (13/3/2019).
Dalam aturan baru ini, Menperin mengusulkan supaya prinsip pengenaan PPnBM melihat semakin rendah emisinya maka semakin rendah tarif pajaknya. Berbeda dengan aturan sekarang yang mempertimbangkan besaran kapasitas mesin mobil.
Harmonisasi skema PPnBM ini sekaligus memberikan insentif produksi motor dan mobil listrik di Tanah Air, sehingga PPnBM menjadi nol persen.
Bila dalam aturan sebelumnya insentif hanya diberikan untuk kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), dalam aturan baru ini insentif diberikan kepada Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) atau kendaraan bermotor kategori beremisi karbon rendah.
Airlangga mengatakan, perubahan skema PPnBM ini diproyeksikan berlaku pada tahun 2021. Hal tersebut mempertimbangkan pada kesiapan para pelaku usaha.
Pelaku usaha diberikan waktu hingga 2 tahun untuk menyiapkan otomotif ekspor tersebut. Dengan tenggat waktu dua tahun, pelaku usaha akan mampu melakukan penyesuaian dengan teknologi atau bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif PPnBM yang lebih rendah.
Airlangga menuturkan, pertumbuhan industri otomotif di Tanah Air sangat meyakinkan dengan kontribusi terhadap PDB di sektor industri nonmigas sebesar 9,98 persen.
https://money.kompas.com/read/2019/03/13/125000126/menperin-ubah-skema-ppnbm-demi-dorong-pengembangan-mobil-listrik