Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menurut Bappenas, Ini Kelemahan Pendidikan Vokasi di Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan vokasi di dunia pendidikan Indonesia dianggap belum maksimal. Kualitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun politeknik tak selalu memenuhi kualifikasi penyedia kerja sehingga masih banyak pengangguran.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro mengatakan, padahal vokasi bisa menjadi solusi cepat untuk mengatasi masalah pengangguran.

"Kita lihat di struktur pengangguran, di SMK itu tingkat penganggurannya lebih tinggi dari lulusan SMA. Berarti ada yang terbalik kan," ujar Bambang dalam wawancara dengan Kompas.com, Kamis (13/6/2019).

Bambang mengatakan, hal ini tentu bukan kesalahan pemberi kerja. Sebab, di perusahaan manapun ingin sumber daya manusia yang layak diupah sesuai kebutuhan mereka.

"Nah, mungkin calon pekerja yang tidak memenuhi harapan dari pemberi kerja," lanjut dia.

Penyebabnya bisa berbagai macam. Bisa karena kompetensi orang tersebut kurang, atau kurikulumnya yang bermasalah.

Misalnya, ada lulusan SMK jurusan listrik yang melamar pekerjaan bidang kelistrikan juga. Meski bidang yang diambil sama, tapi ternyata kemampuan lulusan tersebut dianggap kurang oleh pemberi kerja sehingga gugur.

Lulusan tersebut merasa apa yang dibutuhkan perusahaan tersebut tak pernah dipelajari atau didalami sebelumnya semasa menempuh pendidikan.

Bisa jadi saat SMK praktiknya kurang, kesempatan mengembangkan diri saat magang terbatas, bisa juga karena kualitas guru yang tidak memadai. Bambang menduga masih ada juga tenaga pengajar yang menggunakan kurikulum lama untuk vokasi sehingga sudah tidak revelan lagi saat ini.

Kesalahan lainnya juga ditemukan saat siswa atau mahasiswa vokasi melakukan magang atau praktik kerja lapangan. Sejumlah instansi pemerintah maupun perusahaan swasta membuka lebar kesempatan mereka untuk mencicipi dunia profesional sebelum benar-benar terjun ke lapangan kerja.

Namun, tak sedikit anak magang ditugaskan untuk pekerjaan yang tak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kelas. Misalnya, ada yang hanya disuruh mengantarkan surat, fotokopi, membuat minuman, ataupun memasukkan data ke komputer yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh pekerja yang lain.

Alih-alih demikian, kata Bambang, semestinya tenaga magang harus dilatih dan disupervisi oleh perusahaan tersebut.

"Diawasi langsung yang benar kerjanya kayak gini. Kan siswa tahunya ilmu di sekolah. Nanti diajarin ilmu yang benarnya seperti ini di lapangan kerja," kata Bambang.

Tenaga magang pun harus dibina, bukan dilepas begitu saja. Dengan demikian, siswa tersebut dapat menyerap maksimal apa yang dia dapatkan dari dunia kerja dan menerapkannya saat lulus nanti.

Program magang ini secara tak langsung baisa menguntungkan bagi perusahaan. Jika tenaga magang dianggap cakap dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan, maka begitu lulus bisa langsung direkrut menjadi pegawai karena kompetensinya sudah jelas terlihat.

Oleh karena itu, pemerintah mendorong swasta selaku pihak pemberi kerja agar mau ikut terlibat dalam proses pendidikan pelatihannya di SMK maupun universitas.

"Idenya, swasta mau memberikan tempat siswanya melakukan magang tapi sekaligus juga membina," jelas Bambang.

Bambang mengatakan, kebutuhan pasar sangat dinamis dan terus berubah seiring waktu. Apalagi pemerintah mendorong agar SDM mampu bersaing di era revolusi industri 4.0.

Kebutuhan dunia kerja di masa depan bisa jadi akan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di bangku sekolah. Pendidikan vokasi di Indonesia memang bukan hal baru, tapi masih harus banyak dibenahi. 

"Yang baru adalah bagaimana si kelompok vokasi ini menjawab kebutuhan pasar," kata Bambang.

https://money.kompas.com/read/2019/06/14/123000226/menurut-bappenas-ini-kelemahan-pendidikan-vokasi-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke