Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Garuda Indonesia, Nama Besar dan Kepentingan-kepentingan di Baliknya

Maklum, tidak setiap orang berkesempatan (atau berkeinginan) naik maskapai ini. Harga tiketnya yang di atas tiket maskapai lain, menjadi pertimbangan utama konsumen memilih naik Garuda.

Dan, 20 tahun kemudian saya baru bisa merasakan naik Garuda. Sebelum itu, saya pernah naik pesawat, namun yang kelas low cost carrier atau bertarif murah karena kantong memang pas-pasan.

Booming penerbangan murah di era 2000-an tak membuat brand Garuda surut. Bahkan maskapai ini semakin mengukuhkan posisinya di pasar.

Seorang menteri asal Aceh pernah bercerita, di daerah asalnya, konsumen Garuda berusaha untuk membedakan dirinya dengan penumpang maskapai lain.

“Saya lihat para penumpang Garuda ini selalu menaruh tiketnya di saku baju atas. Tiket tidak dilipat, jadi bisa terlihat orang lain. Sementara penumpang maskapai lain menyimpan tiketnya di saku celana,” cerita Pak Menteri itu.

Tak hanya di Aceh, di Jakarta dan daerah lain pun, banyak penumpang Garuda yang bertindak kurang lebih sama. Mereka membiarkan penanda bagasi tetap menempel di koper. Ini beda dengan penumpang maskapai lainnya yang kebanyakan dilepas setelah sampai di tempat tujuan.

Saat naik bis bandara, penumpang yang turun di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pun juga merasa lebih pede memberitahu ke kernet, ketimbang mereka yang turun di terminal lain.

Ya, begitulah Garuda Indonesia. Maskapai ini memang menyandang nama besar dan brand kuat, yang membuat konsumennya merasa berbeda dari konsumen maskapai lain.

Hal ini yang kemudian membuat konsumen dan publik menaruh ekspektasi yang sangat tinggi ke Garuda Indonesia. Tak peduli bagaimana industri penerbangan hanya menyisakan margin yang tipis bagi maskapai, publik selalu berharap Garuda untung gede.

Wajah Pemerintah

Garuda Indonesia adalah wajah pemerintah. Apapun yang terjadi pada maskapai ini, dianggap mencerminkan pemerintah.

Hal ini pula yang kemudian membuat Garuda kerap menjadi sasaran kritik oleh mereka yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Siapapun yang mengritik pemerintah, rasanya tak afdhol jika tak sekalian menyorot Garuda.

Masih ingat ketika kampanye pilpres kemarin? Saat itu capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengomentari kinerja BUMN yang dianggap amburadul. Tak hanya itu, mantan Danjen Kopassus itu juga menyinggung soal Garuda yang bangkrut.

"BUMN, Pertamina, Garuda Indonesia, the flag carrier of Republic of Indonesia, sekarang dalam keadaan bangkrut," kata Prabowo.

Capres 02 niatnya mengkritik kebijakan pemerintah terkait BUMN. Yang kemudian disebut salah satunya adalah Garuda Indonesia. Padahal, ada BUMN penerbangan lain yang kondisinya memang bangkrut, yaitu Merpati Nusantara. Namun yang disebut justru Garuda Indonesia.

Karena nama besar yang disandang itu pula, Garuda pun kerap menjadi sasaran populisme kebijakan. Masih ingat ramai-ramai isu harga tiket pesawat mahal?

Ya, hampir semua maskapai menaikkan harga tiketnya. Lion Air, Batik, Sriwijaya Air, Citilink, hingga Garuda. AirAsia yang sebelumnya nggak mau ikut-ikutan, pada akhirnya juga menaikkan harga tiketnya.

Netizen teriak-teriak. Kelas menengah yang biasanya liburan naik pesawat, banyak yang mengurungkan niatnya. Kementerian Perhubungan akhirnya disorot.

Kewalahan dengan tekanan publik, Menhub ganti menekan maskapai. Siapa lagi kalau bukan Garuda. Harapannya, agar maskapai ini mau menurunkan harga tiketnya. Meskipun pada saat yang sama maskapai lain harga tiketnya juga naik, Garuda yang dipilih sebagai sasaran tembak.

Tentu tak hanya dua isu tersebut. Isu-isu lainnya pun juga kerap mengunggangi Garuda agar bisa meraih atensi publik. Karena ya itu tadi, Garuda Indonesia punya brand yang menonjol.

Dirundung Banyak Isu

Dan, belakangan ini Garuda Indonesia tengah dirundung banyak isu. Mulai laporan keuangan, duopoli pasar penerbangan, hingga rangkap jabatan yang dilakukan Dirut Garuda Ari Askhara.

Terkait laporan keuangan, memang ada beberapa versi yang menjadi acuan, yakni apakah piutang bisa masuk sebagai pendapatan ataukah tidak. Masing-masing memiliki argumennya.

Di akhir cerita, Garuda didenda oleh otoritas terkait, kendati maskapai itu telah memperoleh komitmen pembayaran sebesar 30 juta dollar AS dari Mahata Aero dan mitranya.

Isu duopoli juga menyeruak karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium ada penguasaan pasar penerbangan domestik oleh dua grup besar: Garuda Indonesia dan Lion Air. Padahal, duopoli tersebut terjadi secara alami dan hanya dua grup besar itu yang modalnya memungkinkan untuk melayani pasar domestik.

Isu lain yang juga menerpa maskapai ini adalah rangkap jabatan oleh dirut. Rangkap jabatan yang dimaksud adalah menjadi komisaris utama Citilink dan Sriwijaya Air.

Meski dari Kementerian BUMN mengklarifikasi tidak ada yang dilanggar karena segmen pasar yang berbeda, Ari Askhara akhirnya pilih melepas posisinya sebagai komisaris di Sriwijaya Air.

Bagi korporasi lain, isu-isu ini kerap terjadi. Namun hal itu menjadi ramai ketika terjadi di Garuda. Karena ya itu tadi, Garuda punya nama besar yang secara tak langsung mewakili pemerintah.

Ada yang diuntungkan?

Punya nama besar memang punya konsekuensi yang berbeda-beda. Selain menguntungkan, ada sisi-sisi yang membuat sebuah korporasi berada di posisi vulnerable karena mewakili entitas lain yang ada di luarnya. Dan, Garuda Indonesia berada di posisi ini.

Saya tak membela siapa-siapa. Toh, kalaupun sudah dinyatakan bersalah oleh otoritas terkait, ya memang seperti itu aturan mainnya.

Namun memahami isu Garuda Indonesia, harus dilakukan secara menyeluruh. Termasuk menakar berbagai kemungkinan setelahnya.

Bagaimanapun, ada banyak kepentingan yang bermain. Mulai dari hanya sekadar cari panggung, hingga memang ingin menggoreng isu untuk kepentingan ekonomi.

Saya sempat berdiskusi dengan seorang komisaris BUMN yang juga menjadi pelaku pasar. Gara-gara isu yang muncul belakangan ini, saham Garuda Indonesia menjadi terpuruk.

Dari yang sebelumnya berada di level Rp 600-an per saham di awal 2019, menjadi hanya di kisaran Rp 300-an per saham di pertengahan tahun.

Dampaknya, pemodal yang ingin memborong saham Garuda pun, bisa melakukannya dengan harga yang jauh lebih murah. Investor (swasta) yang ingin menguasai Garuda semakin leluasa menambah sahamnya karena harganya murah.

Dengan kata lain, ada investor yang berbicara tentang keburukan sebuah perusahaan, namun dia sendiri yang memborong saham perusahaan yang telah jatuh itu. Sehingga, dia bisa menguasai secara mudah saham dari perusahaan yang dijatuhkan reputasinya itu.

Kemungkinan-kemungkinan seperti itu sangat terbuka, dan otoritas pasar modal perlu juga mencermati hal ini pada Garuda Indonesia.

Bagaimanapun, Garuda Indonesia merupakan wajah dari pemerintah. Reputasi maskapai ini mencerminkan reputasi pemerintah. Jika reputasi BUMN penerbangan ini jatuh, wajah pemerintah pun ikut tercoreng.

Karena itu, sangat penting untuk menjaga reputasi maskapai ini. Tak hanya oleh direksi yang memang harus bekerja secara comply terhadap berbagai aturan, namun juga pihak lain: otoritas terkait, Kementerian BUMN, dan terlebih lagi pemegang sahamnya.

https://money.kompas.com/read/2019/07/04/070000026/garuda-indonesia-nama-besar-dan-kepentingan-kepentingan-di-baliknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke