Pemerintah AS kemudian menuding China sebagai manipulator nilai tukar dan melaporkan secara resmi ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Hal tersebut membuat investor harus lebih berhati-hati dalam memilih aset untuk menanamkan dananya.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyaraknkan kepada investor pasar saham untuk lebih selektif. Salah satu sektor yang saat ini tengah dilirik oleh investor adalah perbankan, kendali valuasinya sudah mahal.
"Sebab sektor ini diyakini mendapat manfaat pelebaran margin keuntungan dengan penurunan bunga deposito sementara bunga kredit relatif tetap," ujar dia dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (7/8//2019).
Dia menjelaskan, berbeda dengan siklus penurunan bunga sebelumnya, saat ini investor tidak memiliki alternatif lain.
Jika sebelumnya sektor otomotif dan properti menarik minat investor lantaran penurunan suku bunga memacu pertumbuhan laba, saat ini kedua sektor tersebut menghadapi tantangan penurunan daya beli sejalan dengan pelemahan harga komoditas primer andalah ekspor Indonesia.
Budi juga mengatakan agar investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi seperti tambang dan CPO serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Pelemahan yuan kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestik.
"Pemerintah China sendiri diyakini akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas di Amerika Serikat. Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batu-bara dari Indonesia," jelas dia.
Perang dagang antara China dan AS dalam jangka panjang akan mempengaruhi profil arus perdagangan dan investasi internasional. Selama tahun terjalan hingga bulan Mei 2019, data pemerintah Amerika Serikat menunjukkan Vietnam, Korea Selatan dan Taiwan sebagai pemenang.
Surplus perdagangan Vietnam ke Amerika Serikat mencapai 21,6 miliar dollar AS atau naik 42,6 persen dibandingkan kumulatif Mei 2018.
Pada periode yang sama, surplus perdagangan China turun 10 persen, dengan posisi 137 miliar dollar AS. Sementara, surplus perdagangan Indonesia turun 12,2 persen menjadi 5,1 miliar dollar AS.
“Indonesia memiliki banyak tantangan dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam," jelas Budi.
Selain faktor infrastruktur, kepastian hukum dan insentif pajak, banyak keluhan investor asing terkait dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang harus segera dibenahi. I
Budi mengatakan, nampaknya menanti susunan kabinet pemerintah yang baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia.
https://money.kompas.com/read/2019/08/07/173600926/perang-mata-uang-sektor-apa-yang-aman-untuk-investasi-saham-