Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengusaha Senior Vs Milenial, Mana yang Harus Diprioritaskan Pemerintah?

Semua tampak akrab dan berbaur. Namun ada dua orang yang menarik perhatian saya. Dan dua orang itu adalah konglomerat.

Keduanya adalah pemilik perusahaan yang saya ketahui saling berkompetisi, karena memiliki beberapa produk yang saling bersaing. Head to head di pasar yang sama.

Sebut saja pengusaha tersebut A dan B. Saat itu pengusaha A sudah sampai di venue acara dan menempati kursi barisan depan yang disediakan.

Di barisan yang sama dan tak jauh dari situ, tersedia kursi untuk pemilik perusahaan lain yang menjadi kompetitornya, yakni si B.

Saat mereka duduk dan menyadari kehadiran masing-masing, kedua konglomerat itu memilih meninggalkan tempatnya. Si A bergeser ke barisan belakang. Sementara si B memilih berdiri di samping panggung.

Saya tidak paham apa maksudnya. Tapi dari situ saya berkesimpulan keduanya saling menghindar. Mereka merasa tak nyaman ketika bertemu satu sama lain.

Di waktu yang berbeda, saya bertemu dengan pengusaha lainnya. Konglomerat juga. Dia berkisah, dia pernah “dikhianati” oleh rekan bisnisnya.

Diceritakannya, dia diminta untuk tanda tangan di sebuah lembaran surat. Namun dia tidak paham apa maksud dari tanda tangan itu. Rekannya hanya bilang, “Ini hanya sebagai formalitas.”

Belakangan dia baru tahu, ternyata surat adalah perjanjian. Akibatnya, dia kehilangan kepemilikan atas saham perusahaan yang telah dia kembangkan bersama rekannya itu.

Meski kini dia telah memiliki perusahaan sendiri dengan skala yang tak kalah besar, dia belum bisa melupakan memori pahitnya itu.

Ya, begitulah pengusaha. Saling "sikut" hingga berseteru, menjadi hal yang biasa untuk menjadi yang nomor satu. Mereka juga berupaya menguasai aset dan resources sebesar-besarnya untuk menopang kegiatan produksi.

Memang tidak semuanya begitu. Namun banyak contoh yang menunjukkan betapa para pengusaha yakin dengan paradigma kompetitif dan menguasai sebagai jalan meraih kesuksesan.

Dunia Orang-orang Tua

Tak dimungkiri bahwa industri konvensional, utamanya manufaktur, selama ini menjadi pengerak utama perekonomian banyak negara.

Pelaku usaha ini kerap menjadi tumpuan harapan pemerintah. Baik sebagai pembayar pajak maupun penyedia lapangan kerja. Dan, pemerintah pun sering memberikan berbagai "hadiah" berupa insentif fiskal kepada mereka.

Seperti halnya konglomerat yang saya jumpai, di Indonesia, saat ini rata-rata usia mereka sudah di atas 60 tahun. Di industri perbankan, kelompok ini yang mendominasi segmen nasabah affluent. Punya duit banyak dan pengaruh yang kuat.

Para pengusaha ini adalah kelompok yang sempat menikmati era emas industrialisasi yang booming di era 1980an hingga 1990an, sebelum akhirnya redup oleh krisis 1998 ketika Soeharto lengser.

Satu per satu dari mereka kini mulai meninggalkan kursi eksekutif perusahaan untuk dilanjutkan oleh ke penerusnya. Baik oleh anaknya sendiri maupun profesional yang bisa menjaga agar perusaaan terus berjalan.

Sementara pada saat yang sama, juga muncul perubahan besar di berbagai ranah industri. Digitalisasi telah mengubah banyak business model di berbagai sektor.

Pun dengan bisnis utama yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan, pelan-pelan menjadi tidak relevan.

Istilahnya the main is no longer the main (Rhenald Kasali, 2019).

Ekosistem bisnis besutan anak muda

Beberapa pekan sebelum ini, saya bertemu dengan sejumlah pegiat startup. Penampilannya santai. Pakai kaos oblong dan celana jeans. Bekerja juga cukup dari kafe dan tak harus berkantor.

Mereka sangat welcome dengan orang-orang baru. Bahkan dengan pendiri startup lain yang bergerak di segmen serupa, komunikasinya tampak cair.

Anak-anak muda itu tidak sekaya pemilik perusahaan besar. Bahkan di antara mereka sibuk mencari pendanaan dari investor. Soalnya mau pinjam duit ke bank, mereka tak punya aset sebesar yang dimiliki para pengusaha senior.

Maklum, usia paling tua sekitar 40 tahunan. Meski begitu, mereka punya banyak sekali ide bisnis. Ada yang masih dalam tahap gagasan, namun ada juga yang sudah berjalan.

Alih-alih saling sikut, dan saling mengalahkan seperti orang-orang tua pemilik perusahaan besar itu, anak-anak muda ini punya gairah besar untuk berkolaborasi mengembangkan ekosistem bisnisnya.

Bagi mereka, bukan besarnya aset yang menentukan kesuksesan, namun value dari ekosistem yang dimilik. Semakin berkembang ekosistem, semakin kuat posisi startups. Sekaligus, semakin tinggi valuasinya.

Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana startup yang memiliki ekosistem yang kuat, valuasinya terus berkembang. Bahkan di antaranya menjadi unicorn serta decacorn.

Sebut saja Gojek. Keberadaan startup ini pada awalnya memang hanya untuk mempertemukan mereka yang butuh tumpangan dengan pemilik kendaraan.

Seiring berkembangnya ekosistem, tumbuh segmen pasar lain yang tak sekedar transportasi, yakni pembayaran (payment), jasa kebersihan, perawatan tubuh, laundry, pengiriman barang, hingga pengantaran makanan.

Seorang teman yang baru saja berhenti bekerja dari sebuah perusahaan besar bercerita, betapa dia bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya setelah bergabung dengan aplikasi tersebut.

Dengan mengandalkan kemampuan memasak dan tanpa harus punya warung, dia bisa meraih penghasilan karena masakannya banyak dipesan orang lewat aplikasi.

Begitulah yang terjadi. Dalam skala yang lebih luas, ekosistem digital yang terbentuk ini memungkinkan untuk menggerakkan perekonomian domestik di sebuah negara.

Revitalisasi Industri vs Milenial

Tak dimungkiri, ekosistem digital yang dibentuk oleh startup sejauh ini memang belum bisa mengalahkan multiplier effect dari industri konvensional. Namun perlahan, ekosistem itu berkembang. Partisipan yang ada di dalamnya bisa saling menghidupi antara satu dengan yang lain.

Sejumlah negara pun mulai memahami hal ini. Malaysia misalnya.

Ketika pemerintah Indonesia menggagas revitalisasi industri untuk mendorong perekonomian nasional, pemerintah negeri jiran ini justru mempersilakan Gojek masuk.

Bagi pihak yang gagal paham, aplikasi ini terlihat hanya untuk menyediakan layanan transportasi berbasis online.

Namun saya melihatnya lebih dari itu. Ketika ekspor Malaysia suram akibat perang dagang AS vs China, menghidupkan perekonomian domestik adalah pilihan yang tak bisa ditolak lagi oleh negara yang dipimpin Dr M ini.

Ya, seperti yang terjadi pada teman saya tadi. Melalui kehadiran Gojek, jutaan warga Malaysia akan mungkin tetap memungkinkan mendapat penghasilan meski tanpa harus bekerja di perusahaan besar. Dengan demikian, perekonomian negeri jiran itu diharapkan terus bergeliat.

Memang tidak salah dengan pemerintah Indonesia yang menggagas revitalisasi industri. Toh, kehadiran industri pengolahan saat ini memang dibutuhkan untuk menyerap berlimpahnya bahan baku industri yang berasal dari impor.

Namun, tentu saat ini tak bisa mengharapkan lebih kepada industri pengolahan ini untuk mengatasi persoalah ekonomi.

Bagaimanapun, industri manufaktur sekarang bukanlah labour intensive. Otomatisasi telah menggeser peran manusia dalam proses produksi. Semakin banyak manusia yang dipekerjakan, justru menunjukkan inefisiensi.

Di sisi lain, angkatan kerja milenial semakin mendominasi. Dengan segala karakteristiknya, kelompok ini sangat berbeda dengan generasi pendahulu.

Berbeda dengan orang-orang tua yang sudah kaya itu, kelompok ini justru ingin cenderung bebas. Bekerja fleksibel. Dan, tidak betah berlama-lama kerja di tempat yang membatasi kreativitas.

Berbagai survei menunjukkan betapa obsesi milenial ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya : menjadi barista, Youtuber, koki, bisnis kuliner, spesialis medsos, dan sebagainya.

Karena itu perlu dipikirkan bagaimana kebijakan perekonomian yang lebih akomodatif terhadap generasi ini dan tak melulu pada kepentingan pengusaha senior.

Dan, salah satu pilihannya adalah mengembangkan perekonomian berbasis ekosistem digital yang memungkinkan mereka mengembangkan diri.

Kalaupun ekonomi ini belum bisa diukur dengan indikator konvensional, tentu BPS perlu mencari formulasinya. Dengan demikian, pemerintah melalui kementerian terkait tetap bisa pamer bahwa mereka para pejabat telah bekerja dan ada hasilnya.

https://money.kompas.com/read/2019/10/14/080800126/pengusaha-senior-vs-milenial-mana-yang-harus-diprioritaskan-pemerintah-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke