Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mewujudkan Cita-cita Poros Maritim Dunia

Kata-kata di atas merupakan penggalan kalimat Presiden Joko Widodo tatkala menyampaikan pidato kenegaraan pertama selaku Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 20 Oktober 2014 silam.

Kalimat itu merupakan penegasan visi besar Jokowi, yang saat itu bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah satu langkah konkret Jokowi-JK adalah membentuk kementerian khusus di bidang kemaritiman, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Saat itu, tercatat ada 3 orang yang menjadi pucuk pimpinan tertinggi di kementerian itu, yaitu Indroyono Soesilo, Rizal Ramli, dan Luhut Binsar Pandjaitan. Namun, hingga Kabinet Kerja berakhir, tampak nyata visi menjadikan RI Poros Maritim Dunia masih jauh dari angan.

Ada banyak indikator di bidang logistik hingga perikanan yang menunjukkan Indonesia tertinggal ketimbang negara-negara tetangga, terutama Singapura. Kini, di periode kedua, Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin memiliki kesempatan kedua untuk mewujudkan RI sebagai poros maritim dunia.

Lalu, apa tantangan yang harus dituntaskan pemerintah, terutama Kabinet Indonesia Maju, terkait hal tersebut?

Negara besar

Sudah jamak diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Indonesia memiliki 17.504 pulau.

Dari jumlah itu, sebanyak 16.056 pulau telah memiliki nama baku dan tercatat di Perserikatan Bangsa-bangsa. Tak pelak, status itu membuat Indonesia memiliki potensi menjadi poros maritim dunia. Indonesia diharapkan bisa bertransformasi ke arah negara maritim besar, kuat, dan makmur.

Caranya adalah dengan mengembalikan identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan, dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.

Tahapan menuju poros maritim dunia itu akan meliputi pembangunan proses maritim dari sisi infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi. Detailnya antara lain penegakkan kedaulatan wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesi hingga penguatan dan pengembangan konektivitas maritim.

Namun, setelah periode pertama pemerintahan Jokowi berlalu, masih banyak capaian yang jauh panggang dari api. Dari sisi logistik misalnya.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa perairan Indonesia, terutama Selat Malaka, merupakan perairan tersibuk di dunia. Setiap tahun sekitar 90 persen kapal dunia melintas selat ini. Dari jumlah itu, ada 90 juta TEUs kontainer per tahun!

Itu jumlah yang tidak main-main. Akan tetapi, untung besar justeru diperoleh negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang masing-masing 40 juta TEUs kontainer. Adapun Indonesia hanya sekitar 1 juta TEUs kontainer.

Mengapa itu bisa terjadi?

Perlu diingat, bahwa pelabuhan Indonesia di sepanjang Selat Melaka belum memiliki fasilitas bongkar muat kontainer yang mampu menghasilkan pelayanan optimal disertai tarif yang kompetitif.

Salah satu pelabuhan yang punya peluang besar meraup keuntungan adalah Pelabuhan Tanjung Buton di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Letaknya begitu strategis bukan hanya karena dekat dengan Selat Malaka, melainkan juga Batam yang notabene hanya berjarak sepelemparan batu dari Singapura.

Akan tetapi, sebuah peristiwa memilukan hadir beberapa waktu lalu. Pada September 2019 operasional Pelabuhan Tanjung Buton ditutup akibat ada kerusakan di tiang penyangga dermaga.

Ini sungguh memprihatinkan! Penutupan operasional pelabuhan itu merupakan bukti riil pelabuhan-pelabuhan di sekitar Selat Malaka belum dimaksimalkan secara seksama.

Lebih fokus

Jokowi memang tidak secara spesifik menyinggung visi poros maritim dunia dalam pidato-pidatonya jelang dan setelah periode kedua kepemimpinannya dimulai. Sebutlah misalnya pada pidato tertanggal 14 Juli 2019.

Saat itu Jokowi menyebut 5 agenda pembangunan prioritas yang akan dijalankan dalam 5 tahun ke depan selama pemerintahan kedua, yaitu pembangunan infrastruktur; pembangunan sumberdaya manusia; mengundang investasi seluas-luasnya; melakukan reformasi birokrasi; dan menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.

Hal itu sempat menuai kritikan dari sejumlah lembaga. Namun, bisa kita nilai bahwa komitmen itu tetap ada.

Ya, salah satu indikatornya adalah masih ada kementerian yang secara khusus menangani urusan kemaritiman, walau kini nomenklaturnya berubah menjadi Kemenko Kemaritiman dan Investasi.

Pucuk pimpinan tertingginya masih sama, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan. Namun, berkaca dari periode pertama lalu, ada isu ketidakkompakan di antara kementerian-kementerian yang berada di bawah lingkup Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Tanpa perlu dijabarkan di sini, pembaca tentu mahfum soal hal itu. Oleh karena itu, harapan yang pertama dan utama tentu adalah harmoni pada periode kedua ini.

Urusan ini tentu tidak akan sulit. Sebab, yang diperlukan hanya komunikasi secara terbuka di antara para menteri di bawah lingkup Kemenko Kemaritiman dan Investasi.

Kapasitas Luhut sebagai menteri serba bisa sehingga fungsi investasi dibebankan kepada purnawirawan tentara itu sudah menjadi bukti sahih.

Kembali kepada kisah Pelabuhan Tanjung Buton di atas, pemerintah perlu menjadikan peningkatan kapasitas pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Selat Malaka sebagai fokus pembenahan. Jangan lagi ada isu kerusakan dermaga yang menimpa pelabuhan, sebab ini adalah cerminan negatif terhadap investor.

Nah, bagaimana caranya?

Tentunya, pemerintah bisa mengarahkan anggaran pembangunan pelabuhan ke wilayah-wilayah di sepanjang Selat Malaka. Pasalnya, di sanalah potensi besar keuntungan bisa diperoleh.

Apabila anggaran negara terkendala, pemerintah dapat memaksimalkan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dengan mengundang pihak swasta berinvestasi.

Tapi, semua itu tentu bukan tanpa cek kosong. Harus ada imbalan setimpal bagi investor, misalnya dari keringanan pajak. Dengan demikian, pihak swasta yang berniat membangun atau meningkatkan kapasitas pelabuhan yang sudah ada tidak ragu menanamkan modal mereka.

Hal lain tidak kalah pentingnya adalah memastikan ketersediaan sumber daya manusia mumpuni dalam menunjang operasional pelabuhan. Ini penting agar jangan sampai pos-pos itu diisi oleh tenaga kerja asing.

Kita tentu tidak anti asing, namun seyogianya posisi-posisi itu diisi oleh putera-puteri terbaik bangsa. ??Pemerintah dapat menjalin kerja sama berupa pemagangan SDM di pelabuhan-pelabuhan ternama dunia seperti Singapura hingga Rotterdam Belanda. Dengan demikian, pembangunan kapasitas bisa tercapai dan mereka dalam mentransfer ilmu-ilmu yang diperoleh kepada SDM-SDM lain di dalam negeri.

https://money.kompas.com/read/2019/11/25/104458226/mewujudkan-cita-cita-poros-maritim-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke