JAKARTA, KOMPAS.com - Larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia berbuntut panjang. Uni Eropa akan menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020.
Sayangnya, nikel Indonesia dikapalkan ke negara-negara Uni Eropa masih dalam bentuk mineral mentah atau ore. Nilai tambahnya pun relatif sangat sedikit karena masih berbentuk 'tanah'.
Negara ini menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.
Melansir pemberitaan Harian Kompas, 18 November 2019, Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, memaparkan kalau nikel adalah mineral yang sangat berharga di masa depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik.
Nikel adalah salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Lithium-ion ibarat jantung dari revolusi mobil listrik.
"Selama dua dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah," kata Enrico.
Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai juga akan meningkatkan kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih jauh.
Pada awal 2019, produsen baterai mobil listrik di China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), telah memasarkan baterai Lithium Nickel Cobalt Mangan (NCM) 811 (80 persen nikel, 10 persen kobalt, 10 persen mangan) dengan kandungan nikel lebih tinggi dari pendahulunya.
Pangsa pasar baterai NCM 811 menduduki posisi kedua terbesar di China (setelah NCM 523), meningkat menjadi 13 persen pada Agustus 2019, dari 1 persen pada Januari dan 4 persen pada Juni 2019.
Baterai NCM 811 telah membuat terobosan di China dan disinyalir akan segera dikomersialkan secara luas kepada produsen mobil listrik seperti Volkswagen, General Motors (GM), dan BMW.
Tak berhenti di situ, upaya meningkatkan kandungan nikel pada baterai mobil listrik terus dikembangkan oleh produsen melalui inovasi berikutnya, yaitu baterai NCM 90 (90 persen nikel, 5 persen kobalt, 5 persen mangan) yang diprediksi akan diluncurkan pada 2025 atau lebih cepat.
Saat ini, Indonesia baru sampai tahap awal dalam ekosistem pengembangan industri baterai mobil listrik, yaitu industri peleburan (smelter) nikel.
Menurut Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Indonesia baru saja memperoleh investasi tambahan untuksmelter nikel 20 miliar dollar AS dari Weda Bay.
Produksi mobil listrik di Indonesia
Produsen baterai CATL China dan LG Chemical Korsel juga sedang mempertimbangkan membangun fasilitas produksi baterai mobil listrik di Indonesia.
"Untuk mengakselerasi industri baterai mobil listrik di Indonesia, larangan ekspor bijih nikel harus terus didukung dengan kebijakan pemerintah yang tepat untuk meningkatkan iklim investasi," kata Enrico.
Pemerintah juga harus menyediakan insentif sehingga investor asing tertarik ikut andil dalam industri hilir di dalam rantai nilai (value chain).
Akan lebih bijak lagi jika insentif yang diberikan dapat memicu investasi kembali (re-investment) sehingga mampu mencegah potensi repatriasi keuntungan investasi.
Jika upaya ini berhasil, efek nilai tambah di masa depan pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan meningkat signifikan (meski impor mungkin akan meningkat sampai batas tertentu untuk menjaga momentum investasi industri hilir terkait).
"Percepatan larangan ekspor bijih nikel merupakan langkah penting untuk mendukung akselerasi industri hilir dalam negeri," tutur Enrico.
Dalam jangka pendek, dampak negatif ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan relatif minim dan masih terkendali.
Namun, jika Indonesia berhasil memonetisasi potensi pasar global baterai mobil listrik, permasalahan defisit transaksi berjalan akan teratasi dalam jangka panjang.
https://money.kompas.com/read/2019/12/17/131229926/harta-karun-di-masa-depan-itu-bernama-nikel