Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mau Seperti Kopi Kenangan, UKM Tak Boleh Hanya Andalkan KUR

"Jadi kalau kita mau UKM tumbuh, pembiayaan tak hanya melalui KUR saja, tapi dari bank, non-bank dan ventura. Ventura manajemennya masuk ke dalam," kata Nining saat ditemui di Gedung Smesco Jakarta Selatan, Kamis (26/12/2019).

Nining menyebutkan, produk Kopi Kenangan merupakan contoh UKM yang mendapatkan permodalan dari gabungan filantropi dunia dengan bentuk akses permodalan ventura.

Selain itu juga ada juga coffee shop Starbucks yang mampu melakukan penetrasi seluruh dunia karena dukungan modal dari ventura.

"Pembiayaan itu lebih banyak pakai ventura, kayak Kopi Kenangan kan baru dapat, itu konsep baru. Kopi Kenangan karena punya visi misi jelas sehingga terpercaya. UKM kalau mau besar tak boleh hanya mengandalkan KUR, karena KUR kan kecil," jelasnya.

Nining menjelaskan, semakin besar suatu negara maka pembiayaan ke UKM itu tak lagi ada di bank dan KUR, melainkan di ventura.

"Tapi masalahnya banyak UKM takut kalau manajemen luar masuk, takut perusahaannya diambil alih," jelasnya.

Selain itu ia juga mengeluhkan banyak UKM yang hanya dibiarkan menjalankan usahanya sendiri.

Di sisi lain ucapnya, UKM cenderung sulit maju karena pada dasarnya tidak berupaya untuk berkembang.

"Waktu kita di Bangka Belitung, saya survei ke 475 UKM, waktu saya tanya prioritas membesarkan usaha itu prioritas ke berapa, jawabannya ke 12, dan yang pertama adalah yang penting anak bisa sekolah," jelasnya.

Tak sampai di situ, ia melakukan survei kembali pada responden pelaku usaha ultra mikro (UMI) sebanyak 2.000 responden.


Hasilnya, banyak responden yang menjawab prioritas memperbesar usaha hanya ada diprioritas ke-20, sedangkan yang pertama adalah bisa makan dan minum.

Selanjutnya riset berlanjut ke debitur Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), dan diperoleh jawaban responden dalam memperbesar usaha itu prioritas ke-8.

Jika usaha sudah menunjukkan perkembangan, maka pemilik usaha akan semakin bersemangat memperbesar usahanya.

"Yang repot, kebanyakan UKM kita yang memproduksi 60 persen total GDP kita, namun masih belum mau memperbesar usahanya," ungkapnya.

Nining menegaskan, pernah ada sebuah studi di UI, bahwa ekspor UKM harus memiliki standar ISO. Namun nyatanya hal ini tak direspon positif oleh pelaku UKM. Malah para pelaku UKM yakin produknya masih bisa laris di pasar domestik.

"Banyak yang bilang, 'ngapain saya ikut gitu? saya pasar domestik saja masih banyak.' Jadi ini masalah mindset. Kita kalau mau ekspor silahkan ekspor, tapi mereka harus ikut pelatihan," jelasnya.

Nining mengatakan, UKM naik kelas itu sangat sulit, hal ini ia sampaikan berdasarkan sebuah studi dari Harvard. Dikatakan bahwa hal paling berat adalah masalah pajak yang menggerus pendapatan UKM.

"Pertama UKM itu produknya enggak ada yang beli. Kedua, mereka harus terbang di bawah radar pajak, mereka takut menjadi besar karena harus bayar pajak. Nomor tiga, akses pembiayaan itu susah," jelasnya.

https://money.kompas.com/read/2019/12/27/144639626/mau-seperti-kopi-kenangan-ukm-tak-boleh-hanya-andalkan-kur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke