PT Manulife Aset Manajemen Indonesia merilis alasan atau faktor penting untuk evaluasi investasi pada akhir 2019.
Hal ini disampaikan Krizia Maulana selaku Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia melalui Market Update Edisi Desember 2019.
Hal pertama adalah terkait dengan perkembangangan kesepakatan dagang antara AS dan China yang akan mempengaruhi pasar.
"Dari pasar global, salah satu yang menjadi fokus utama pasar masih seputar perkembangan konflik dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China," ungkap Krizia melalui siaran media, Junat (27/12/2019).
Namun, konflik ini dapat diatasi dengan upaya pemerintah serta bank sentral menstimulus fiskal dan kebijakan moneter akomodatif untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Krizia menjelaskan, laporan terkini menunjukkan data pertumbuhan ekonomi dan sektor tenaga kerja AS masih tetap positif.
Sementara dari Eropa, Krizia menilai meski ekonomi masih berada dalam fase konsolidasi, namun mulai ada sinyal stabilisasi. Sektor manufaktur Euro Zone di bulan November meningkat ke level 46,9 dari bulan sebelumnya 45,9.
Krizia juga melihat sinyal stabilisasi pada sektor manufaktur di China. Per November, sektor ini bangkit ke level 50,2 yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2019.
"Harapannya, terciptanya kesepakatan dagang dan masih ada ruang bagi bank sentral di kawasan Asia dan negara berkembang untuk menurunkan suku bunga, dapat mendorong sentimen investasi untuk pergerakan pasar finansial bagi di Asia maupun negara berkembang," ungkapnya.
Sementara di Indonesia, ia mengungkapkan pasar saham Indonesia (IHSG) mencatatkan penurunan sebesar 2,95 persen hingga akhir November 2019. Kinerja pasar saham Indonesia kalah dibandingkan negara kawasan Asia lainnya.
"Ini disebabkan oleh pertumbuhan earning yang relatif lemah ditahun ini," ungkapnya.
Dari pasar obligasi, Krizia menyebut pasar obligasi Indonesia (BINDO) mencatatkan kenaikan sebesar 13,60 persen sampai dengan akhir November 2019. Hal ini didorong oleh imbal hasil real yield yang cukup tinggi, dan juga kebijakan moneter akomodatif bank sentral global.
Sementara itu, Bank Indonesia juga di tahun ini sudah menurunkan suku bunga sebanyak empat kali. Rupiah bergerak relatif stabil, rata-rata perdagangan di tahun ini di kisaran Rp14.153 per dollar AS.
"Diharapkan, percepatan reformasi kebijakan, stabilitas politik dan perbaikan earning perusahaan dapat mendorong sentimen investasi untuk pasar keuangan Indonesia," tambahnya.
Menurutnya, salah satu tantangan bagi ekonomi Indonesia ke depannya, masih seputar defisit pada neraca berjalan. Khususnya di saat ini, ketika penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI) belum bisa menutupi atau membiayai dari defisit pada neraca berjalan ini.
Untuk tahun 2020, ia memproyeksikan pemulihan ekonomi Indonesia akan berjalan secara gradual. Ia berharap pemulihan ekonomi terjadi seiring meredanya ketegangan antara AS dan China.
Sementara itu, menurutnya pelonggaran fiskal relatif tidak terlalu agresif, mengingat defisit fiskal dibatasi di bawah 3 persen menyebabkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga relatif terbatas.
Di sisi lain, ia menilai peningkatan daya saing untuk area non komoditas menjadi sangat krusial. Ini sekaligus meningkatkan investasi yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tinggi lagi.
"Pesan untuk investor, mari manfaatkan momen akhir tahun untuk melakukan evaluasi investasi, dengan memastikan bahwa investasi yang dimiliki saat ini, sudah sesuai dengan tujuan keuangan yang ingin diraih," jelasnya.
Ia menghimbau, agar investor jangan membiarkan volatilitas jangka pendek mempengaruhi investasi. Karena bila Anda tidak melakukan investasi juga pastinya akan memiliki risiko.
https://money.kompas.com/read/2019/12/27/153216426/saatnya-evaluasi-investasi-di-akhir-tahun-ini-alasannya