Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aviation Personnel untuk Perbaikan Dunia Penerbangan Sipil

Tak hanya itu saja, persoalan tingginya harga tiket dan keterlambatan jadwal pesawat seakan menjadi persoalan yang tak pernah hilang. Padahal tingkat pertumbuhan pengguna pesawat terbang di Indonesia meningkat setiap tahun.

Dunia penerbangan sipil merupakan sesuatu yang kompleks. Perbaikan dunia penerbangan melibatkan berbagai komponen yang membentuk ekosistem perhubungan udara, di antaranya Direktorat Jendral Perhubungan Udara sebagai representasi dari regulator, maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa, operator bandara sebagai penyedia lokasi penerbangan dan juga konsumen sebagai pengguna jasa.

Salah satu masalah pelik yang selama ini dihadapai adalah birokratisasi dunia penerbangan yang memunculkan inefisiensi kebijakan. Agenda perampingan birokrasi dengan menghapus eselon III dan IV merupakan sebuah langkah penting karena hal ini akan mendorong penyederhanaan birokrasi.

Eselon III dan IV yang semula terkotak-kotak dalam disiplin ilmu masing-masing akan menjadi pejabat fungsional yang tergabung dalam satu wadah. Hal ini mendorong birokrasi di Direktorat Jendral Perhubungan Udara untuk dapat berkolaborasi dan tidak berpikir terkotak-kotak.

Efisiensi birokrasi akan menunjang kelancaran operasional penerbangan, termasuk efisiensi yang berorientasi pada keselamatan penerbangan. Perubahan ini menempatkan orang-orang yang dapat berpikir holistik untuk mengurus dunia penerbangan atau disebut sebagai aviation personnel.

Selain pada birokrasi, inefisiensi juga tergambar dari jadwal penerbangan di berbagai bandara. Jam operasi bandara yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan mengakibatkan banyak maskapai yang berlomba-lomba untuk membuat jadwal pada prime time.

Akibatnya banyak terjadi delay keberangkatan maupun kedatangan. Ini berakibat pada pemborosan bahan bakar, waktu dan lain-lain.

Di samping merugikan operator, juga merugikan konsumen karena harus mengalami keterlambatan penerbangan. Namun jika semua bandara yang potensial dapat beroperasi 24 jam, maka masalah-masalah inefisiensi jadwal penerbangan dapat diatasi.

Pertanyaannya kemudian apakah bandara yang didorong untuk beroperasi 24 jam telah siap secara teknis dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni?

Faktor SDM

Faktor SDM menjadi ujung tombak bagi operasional penerbangan. Pertama, para personel, terutama pilot dan air traffic controller (ATC), haruslah mencukupi secara kuantitas maupun kualitas. Kedua, personil tersebut harus selalu mendapatkan re-current training secara berkala serta pemeriksaan kesehatan secara berkala minimal 6 bulan atau satu tahun sekali.

Untuk pemeriksaan kesehatan tersebut dilakukan oleh Balai Kesehatan sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Sehingga bila ada indikasi permasalahan kesehatan dapat dideteksi secara dini, akurat dan tepat.

Deteksi dini dan pengaturan jam kerja agar tidak di luar ambang batas merupakan kunci untuk mengatasi banyaknya penerbang yang grounded atau meninggal pada usia muda.

Idealnya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara segera memisahkan antara tugas-tugas regulator dan BLU umum. Sehingga dapat fokus pada medical check-up untuk pilot dan ATC yang pada tujuan akhirnya untuk memastikan pengurangan resiko kecelakaan yang diakibatkan menurunnya kualitas kesehatan kedua komponen penting penerbangan ini.

Akan tetapi beban BLU Kesehatan saat ini cukup berat karena harus menjalankan pemeriksaan diluar kewajibannya melakukan pemeriksaan khusus untuk penerbang dan ATC.

Saat ini BLU Kesehatan terkadang harus memeriksa lebih dari 100 orang per hari karena juga harus memeriksa para awak kabin. Padahal para awak kabin tersebut adalah pemegang sertifikat, bukan license, dan tidak harus diperiksa oleh BLU kesehatan. Seharusnya mereka cukup diperiksa oleh dokter umum atau dokter perusahaan.

Apa yang terjadi pada BLU Kesehatan juga terjadi pada BLU Kalibrasi. Balai Kalibrasi mempunyai tugas untuk mengkalibrasi peralatan-peralatan navigasi penerbangan. Termasuk bandara-bandara agar peralatan atau fasilitas tersebut selalu dalam kondisi prima karena sangat menyangkut keselamatan penerbangan, seperti alat pendaratan ( ILS / VASI ), rambu-rambu ,dan lain-lain.

AOC 135

Pesawat kalibrasi khusus dilengkapi laboratorium terbang serta awak pesawat yang terlatih khusus untuk dapat mengkalibrasi. Namun sekarang BLU Kalibrasi justru mendapatkan AOC (Air Operator Certificate) 135 artinya juga dapat menjalankan sebagai operator charter flight dan medical evacuation.

Menggunakan pesawat kalibrasi untuk tujuan non-kalibrasi sangat lah berbahaya karena dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas peralatan kalibrasi.

Apabila Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ingin mengoptimalkan AOC 135 maka seharusnya usaha ini dipisahkan dari BLU Kalibrasi atua diserahkan kepada BUMN yang telah ada. Jika tumpang tindih peran masih terus dilakukan maka dikhawatirkan agenda pemenuhan keselamatan penerbangan akan dikorbankan.

Hal lain yang juga penting untuk mendapat perhatian dalam isu perhubungan udara adalah banyaknya pilot yang baru lulus dari sekolah penerbang (ab initio). Jumlah pilot baru yang belum mendapat pekerjaan sampai saat ini mendekati 1000 orang.

Di lain pihak banyak pilot asing yang bekerja di maskapai dalam negeri untuk mendapatkan jam terbang dan selanjutnya kembali ke negara asal. Dengan bekal jam terbang yang dimiliki maka ia akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di negara asalnya.

Selain persaingan yang begitu ketat, untuk melamar ke operator saja para pilot baru ini masih harus dihadapkan dengan berbagai syarat untuk dapat diterima kerja, misalnya beberapa operator mengharuskan calon pilot memiliki ATPL Frozen yang sebenarnya tidak diperlukan di Indonesia.

Apakah regulator, dalam hal ini Direktorat Jendral Perhubungan Udara, akan membiarkan saja?

Perbaikan Ekosistem

Perbaikan ekosistem penerbangan Indonesia tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan payung hukum yang kokoh sekaligus adaptif dengan perkembangan zaman. Jika melihat regulasi, berbagai persoalan ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Jika melihat UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan yang terlalu banyak pasal, maka perlu dilakukan perumusan ulang undang-undang yang mengatur mengenai penerbangan.

Diharapkan undang-undang baru ini terdiri dari pasal yang “kenyal” sehingga dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Untuk selanjutnya dapat dibuat peraturan-peraturan lain sebagai turunan dari pasal-pasal tersebut sesuai dengan kebutuhan.

Agenda pembenahan kondisi penerbangan sipil di Indonesia masih lah panjang. Dibutuhkan ketegasan dan konsistensi semua pihak untuk memastikan tugas dan fungsi masing-masing komponen dapat dijalankan dengang benar.

Jika tiap komponen yang terlibat mendapat beban terlalu berat sehingga mengesampingkan tugas utamanya, maka agenda perbaikan ini akan terasa semakin berat dan mustahil dapat tercapai sesuai dengan harapan.

https://money.kompas.com/read/2019/12/30/080000726/aviation-personnel-untuk-perbaikan-dunia-penerbangan-sipil

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke