Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

100 Hari Jokowi-Ma'ruf, Omnibus Law, Didukung Pengusaha Ditolak Buruh

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam 100 hari kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin, isu omnibus law masih terus menjadi pembahasan oleh banyak kalangan.

Wacana omnibus law atau peneyederhanaan regulasi yang terdiri atas Omnibus Law RUU Perpajakan dan Cipta Lapangan Kerja muncul ketika Jokowi melakukan Pidato Kenegaraan dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 di Sidang Paripurna MPR RI di Jakarta, Minggu (20/10/2020).

"Kita tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku, yang formalitas, yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyibukkan, yang meruwetkan masyarakat, dan pelaku usaha. Ini harus kita hentikan,” ucap Jokowi saat itu.

Selain itu, ia menambahkan, seluruh regulasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman harus dihapus.

Demikian halnya regulasi yang tidak konsisten dan terkesan tumpang tindih antara yang satu dan yang lain harus diselaraskan, disederhanakan dan dipangkas.

Omnibus Law Perpajakan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, inti dari omnibus law perpajakan adalah merevisi beberapa undang-undang menjadi satu sekaligus, yaitu undang-undang mengenai Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), dan undang-undang mengenai kepabeanan.

Adapun setidaknya terdapat enam poin yang menjadi fokus utama dalam RUU Omnibus Law Perpajakan sebagai berikut.

1. Pajak penghasilan badan diturunkan bertahap

Bendahara Negara memaparkan, fokus pertama adalah mengenai pajak penghasilan, yaitu pajak penghasilan badan atau korporasi.

Secara bertahap, pemerintah bakal mengurangi PPh badan yang saat ini sebesar 25 persen menjadi 20 persen.

Awalnya, PPh Badan diturunkan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021, sebelum akhirnya menjadi 20 persen pada 2023.

"Dilakukan bertahap karena dampak fiskalnya harus dijaga. Karena dengan penurunan itu, juga menurunkan basis perpajakan kita secara signifikan," jelas Sri Mulyani.

Pemerintah juga bakal memberi insentif perpajakan jika perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa. Besaran potongan pajak yang diberikan sebesar 3 persen untuk lima tahun.

"Supaya ada additional perusahaan listing sehingga bursa semakin dalam dan berkembang," ujar dia.

2. Menghapus pajak dividen

Sebelumnya, pemerintah masih membebankan pajak kepada perusahaan dengan nilai saham kurang dari 25 persen dari jumlah modal yang disetorkan. Namun, kini dividen tidak lagi menjadi objek pajak pemerintah, terutama untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang melakukan ekspansi ke luar negeri.

"Contohnya Gojek buka di Flipina dan Vietnam, ada share lebih dari 25 persen otomatis tidak dipajakin, tapi selama ini kurang dari itu tetap dipajakin," jelas Sri Mulyani.

3. Rezim pajak menjadi teritorial

Lebih lanjut Sri Mulyani memaparkan, wajib pajak baik dari luar negeri maupun dalam negeri menjadi wajib pajak luar negeri wajib membayarkan pajak penghasilan mereka ke Indonesia tergantung berapa lama waktu tinggal di Indonesia.

Misalnya saja, ketika seorang Indonesia yang bekerja di luar negeri selama lebih dari 183 hari, maka dia tak perlu lagi membayarkan PPh ke Indonesia. Sementara untuk ekspatriat atau pekerja asing di Indonesia, dia hanya perlu membayar pajak di dalam negeri.

4. Mengurangi bunga denda perpajakan

Sri Mulyani mengatakan, apabila wajib pajak membetulkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan mengalami kurang bayar maka akan dikenai sanksi 2 persen per bulan.

Dalam 24 bulan, sanksi itu memberatkan karena dapat mencapai 48 persen. Hal tersebut membuat wajib pajak kian enggan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Namun dalam omnibus law, sanksi per bulan akan diturunkan pro rata, yaitu berdasarkan suku bunga acuan di pasar. 

"Sekarang fair saja dendanya sebesar suku bunga yang selama ini, bunga market kan sekarang rendah," ujar dia.

Untuk mereka yang dengan sengaja menghindari kewajiban perpajakannya, sanksi yang sudah dikurangi tersebut bakal ditambah bunga sebesar 5 persen hingga 10 persen.

"Jadi ini cukup fair," ujar Sri Mulyani.

5. Mengatur pajak digital

Poin lain yang menjadi fokus dalam omnibus law perpajakan adalah mengenai pajak e-commerce, terutama perusahaan digital. Sebelumnya harus memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) agar bisa dikenakan pajak.

Nantinya, tidak perlu BUT atau kantor cabang, tetapi selama beroperasi atau memiliki keberadaan ekonomi di RI wajib memungut dan membayar pajak. 

"Sehingga melalui ini whether punya atau ada presence fisik atau tidak, kalau ada economic presence saya bisa meminta Anda memungut dan membayar pajak," ujar Sri Mulyani.

6. Seluruh insentif pajak menjadi satu bagian

Keenam adalah menjadikan seluruh insentif pajak, seperti tax holiday dan tax allowance, menjadi satu bagian.

Sebab, selama ini tax holiday dan tax allowance tidak diturunkan dari undang-undang perpajakan, tetapi dari undang-undang investasi.

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menjelaskan, sesuai hasil pembahasan terakhir per 17 Januari 2020, telah diidentifikasi sekitar 79 UU dan 1.244 pasal yang terdampak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dengan rincian.

  1. Penyederhanaan Perizinan: 52 UU dengan 770 pasal
  2. Persyaratan Investasi: 13 UU dengan 24 pasal
  3. Ketenagakerjaan: 3 UU dengan 55 pasal
  4. Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M: 3 UU dengan 6 pasal
  5. Kemudahan Berusaha: 9 UU dengan 23 pasal
  6. Dukungan Riset dan Inovasi: 2 UU dengan 2 pasal
  7. Administrasi Pemerintahan: 2 UU dengan 14 pasal
  8. Pengenaan Sanksi: 49 UU dengan 295 pasal
  9. Pengadaan Lahan: 2 UU dengan 11 pasal
  10. Investasi dan Proyek Pemerintah: 2 UU dengan 3 pasal
  11. Kawasan Ekonomi: 5 UU dengan 38 pasal

Ditolak serikat pekerja

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) Said Iqbal mendukung keinginan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi.

Namun, ia mengingatkan pemerintah duduk bersama agar regulasi yang akan memayungi rencana tersebut tidak mengesampingkan perlindungan terhadap tenaga kerja.

"Kita setuju dengan apa yang diinginkan oleh Pak Jokowi, pertumbuhan ekonomi naik, investasi naik, kemudian tercipta lapangan kerja baru, tetapi kita tidak setuju bila perlindungan menjadi kurang," kata Iqbal dalam diskusi bertajuk " Omnibus Law Bikin Galau" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (26/1/2020).

Ia menyebut, salah satu kekhawatiran soal adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yakni mudanya tenaga kerja asing yang tidak memiliki skill masuk ke dalam negeri.

Selain itu, ada wacana penerapan pengupahan berdasarkan jam kerja. Persoalan lainnya yaitu wacana dihapusnya sanksi kepada perusahaan yang memberikan upah di bawah ketentuan minimum.

Menurut Iqbal, hal-hal seperti itu salah bila diterapkan lantaran akan berdampak terhadap kesejahteraan pekerja.

"Yang tadinya mau investasi, (membuka) lapangan kerja, malah jadi cilaka. Kan singkatannya kata orang-orang begitu, (RUU) cipta lapangan kerja itu jadi cilaka," kata dia.

Pengusaha ingin segera rampung

Wakil Ketua Umum Apindo sekaligus CEO Sintesa Group Shinta Widjaja Kamdani, menyebut economic slow down dirasakan sejumlah pengusaha di Indonesia terutama penurunan nilai ekspor.

"Impact-nya pasti terasa di Indonesia dan 60 persen untuk domestik. Jadi dengan adanya ini (RUU Omnibus law) akan terbantu, tapi yang jelas untuk ekspor kena banget dan kelihatan," kata Shinta di Kempinski Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Shinta menjelaskan, ini bukan hanya soal insentif namun ada hal yang fundamental yang harus diperbaiki, dimana insentif akan sulit didapat jika regulasi belum mendukung.

"Makanya kita kejar omnibus law karena itu penting. Kalau itu tidak diperbaiki dari sisi perijinan usaha, maka itu enggak bisa insentifnya (sulit)," jelas Shinta.

Shinta menjelaskan, dengan maslah pelemahan ekonomi maka saat ini kompetisi akan menjadi semakin ketat dan setiap pengusaha berebut mendapatkan kue yang lebih kecil.

"Ini kan slowing down tapi kompetisinya makin lebih ketat. Jadi kita harus berkompetisi untuk mendptkan kue yang lebih kecil dan kita harus menjaga supaya Indonesia kompetitif," jelas Shinta.

Shinta menjelaskan, Indonesia punya pasar yang besar dalam ekspor. Maka dari itu, selain masalah perijinan dan insentif maka pemanfaatan sumber daya yang ada juga perlu ditingkatkan.

"Tapi kembali lagi kesiapan dari produk ekspor di Indonesia agar kita bisa memanfaatkan. Ini yang nantinya akan menjadi kuncinya. Slow down economy kita pasti kena, tapi kita juga mau menjaga volume ekspor yang ada," jelas Shinta.

Pendapat ekonom

Ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, kebijakan sapu jagat yang meliputi unsur perpajakan dan cipta lapangan kerja tersebut berisiko hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Sebab menurut dia, keterlibatan unsur tenaga kerja seperti buruh dalam perumusan kebijakan tersebut sangat minim.

"Jangan sampai omnibus law ini kesannya untuk memenuhi seluruh permintaan dunia usaha terkait cost tenaga kerja. Bisa jatuh Pak Jokowi," ujar Faisal di Jakarta, Rabu (18/12/2019).

Dia pun menilai, berbagai indikator perekonomian yang ingin dikejar melalui kebijakan omnibus law sebenarnya tidak terlalu buruk.

Contohnya saja, untuk kinerja investasi dengan porsi investasi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 32,3 persen.

Faisal menilai, porsi investasi Indonesia sudah cukup besar. Sementara dari sisi investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) Indonesia juga memiliki kinerja yang cenderung baik.

Dengan porsi rata-rata sebesar 2,1 persen terhadap PDB, Indonesia secara nominal masuk ke dalam 20 besar negara penerima FDI tunai terbesar sejak dua tahun yang lalu.

"Di tahun 2018 kita di posisi 16 dan tahun sebelumnya di posisi 18, jadi ada kenaikan dari 2017 ke 2018," jelas Faisal.

Ia menilai, pemerintah daerah dan buruh menjadi pihak-pihak yang rentan dalam penyusunan kebijakan sapu jagat ini.

Jika pajak daerah yang menjadi otoritas pemerintah daerah berhak diatur oleh pemerintah pusat di dalam omnibus law, maka berpotensi menggerus pendapatan daerah.

Sementara untuk buruh, Faisal mengatakan hingga saat ini dirinya belum melihat ada intensi keberpihakan terhadap kaum buruh.

"Ini pusat lagi dominasi penguasa dan pengusaha. Diwakilkan dalam kementerian sebagai wakil menteri, selesai sudah. Buruh hempas. No one care. Nggak ada perwakilan yg membantu buruh, enggak ada," ujar Faisal.

"Misal jaminan sosial buruh nggak dibicarakan. Kalau bisa dipotong. UMP nggak ada, suka-suka pemerintah pusat tentukan upah," ujar dia.

https://money.kompas.com/read/2020/01/28/125831626/100-hari-jokowi-maruf-omnibus-law-didukung-pengusaha-ditolak-buruh

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke