Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menanti Omnibus Law Ramah Investasi

Presiden Joko Widodo saat dilantik pada Oktober 2019 menjanjikan penerbitan dua omnibus law, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Kedua RUU bakal merevisi secara sekaligus puluhan undang-undang yang potensial saling "menghambat" upaya penciptaan lapangan kerja dan juga pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Ringkasnya, pembentukan undang-undang sapu jagat tersebut dinilai sebagi salah satu bentuk upaya untuk menggenjot perekonomian nasional.

Hingga tahun berganti, kedua RUU belum juga masuk ke parlemen untuk dimulainya pembahasan secara resmi-–terakhir sempat dijanjikan akan disampaikan awal Februari 2020.

Kedua RUU tersebut sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, di mana omnibus law tentang cipta lapangan kerja berada pada urutan ke-40 dan Perpajakan masuk di urutan ke-41.

Semangat awal

Sekalipun belum resmi dibahas bersama antara pemerintah dan DPR, sejumlah draf atau pointers pembahasan RUU tersebut sudah mulai beredar, sekalipun pihak pemerintah masih menyanggahnya sebagai materi RUU final.

Polemik pun mulai mencuat, misalnya RUU Cipta Lapangan Kerja yang dianggap mengancam pelestarian alam dan perlindungan buruh.

Adapun RUU Perpajakan berisiko tak mencapai target untuk mendorong investasi, bahkan bisa-bisa salah sasaran yang menyebabkan berkurangnya penerimaan negara hingga Rp 98 triliun.

Menelisik kembali semangat awal hadirnya kedua RUU omnibus law tersebut adalah keinginan menarik minat investasi di Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Adalah persoalan regulasi yang diidentifikasi sebagai penghambat menyangkut perizinan investasi di Indonesia yang butuh waktu yang relatif lama dibandingkan negara lain.

Belum lagi banyaknya peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga perlu perbaikan agar tidak menghambat pelayanan masyarakat.

Kedua RUU tersebut diharapkan bisa memberi jawaban dan menjadi solusi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sejak 2013 tidak pernah melebihi angka 6 persen per tahun.

Meminjam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, pembahasan omnimbus law cipta lapangan kerja memiliki dampak positif, di mana akan tercipta tiga juta lapangan pekerjaan baru.

Peringatan yang perlu diperhatikan terkait efektivitas kedua RUU sapujagat tersebut, yakni manakala insentif yang diberikan ternyata tidak juga memancing investor untuk menanamkan modalnya. Salah satunya karena dinilai belum menyentuh operasional bisnis.

Namun, selayaknya sebuah tata urutan regulasi yang hierarkis, sebuah regulasi pokok terkadang tidak optimal saat diimplementasikan, antara lain justru karena isi peraturan yang lebih rendah justru tidak mendukung atau malah bertabrakan.

Produktivitas penyusunan peraturan daerah oleh 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia mencuat menjadi persoalan.

Data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak 2015 hingga Juli 2019 sudah terdapat 1.758 perda provinsi yang disahkan, dengan 290 di antaranya merupakan perda yang terkait dengan investasi.

Realitasnya kemudian, komitmen politik lembaga legislatif dan eksekutif di daerah masih belum sejalan dengan semangat peningkatan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Alhasil, masih banyak perda yang masih bermasalah terkait dengan aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.

Pekerjaan rumah

Temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang dilansir pada November 2019, setidaknya terdapat 347 peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.

Rinciannya adalah sebanyak 235 perda bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait dengan perizinan, 7 terkait dengan masalah ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan lain-lain.

Sebagai contoh, salah satu ketentuan yang bermasalah adalah kawasan bebas merokok dan batasan iklan rokok yang memperlihatkan kerancuan administrasi pemerintahan negara kesatuan.

Tidak semestinya perda bisa memuat pengaturan yang melebihi (dan bahkan bertentangan) dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Sejumlah regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan dan batasan iklan tembakau memperlihatkan adanya kon?ik dengan peraturan yang lebih tinggi, ketentuan yang inkonsisten, serta terdapat ketentuan yang multitafsir.

Di sini, pokok soalnya adalaah ketikdapastian hokum berusaha yang membawa risiko bisnis. Pemda membuat aturan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan kerangka regulasi nasional yang semestinya jadi rujukan.

Salah satunya adalah Peraturan Perda Kota Bogor No. 10 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).

Salah satu isi Perda tersebut adalah larangan pemajangan (display) produk rokok, yang mana tentunya klausul itu bertentangan dengan aturan yang menyatakan bahwa rokok adalah produk legal sehingga sifatnya pun halal.

Sejumlah aturan potensial terlanggar oleh Perda tersebut, seperti PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 71/PUU-XI/2013.

Dampak ketidakpastian usaha terlihat pada respon sejumlah pedagang tradisional yang mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 2019 (tercatat dengan nomor perkara 4P/HUM/2020).

Perda tersebut dinilai cacat hukum karena dalam pembentukannya tidak mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku serta mengandung ketentuan yang jauh di luar kewajaran.

Pelarangan pemajangan produk tersebut tentulah membuat pedagang tradisional yang mayoritas usaha kecil merasa dirugikan, padahal rokok adalah produk yang legal, halal, dan diperdagangkan secara resmi pula.

Kasus sedemikian bisa jadi bukan hanya terjadi pada perda menyangkut KTR. Bahkan kalaupun ditemukan kasus serupa, belum tentu pihak yang dirugikan bersedia mengajukan proses hukum pengajuan uji materi.

Karenanya, jika pemerintah memang berniat serius menciptakan iklim investasi yang kondusif, hal seperti itu mestinya bisa ditangani lebih dini lewat mekanisme evaluasi dan pemantauan kepatuhan secara berkelanjutan.

Majelis hakim tentu akan menimbang putusan yang seadil dan sebijaksana mungkin, dengan pertimbangan yang komprehensif, termasuk dari kacamata industri dan terutama pihak pedagang tradisional yang terugikan oleh perda tersebut.

Akhirnya, sembari berharap omnibus law segera dituntaskan dan memenuhi harapan pelbagai pihak, sudah semestinya pemerintah, dalam hal ini Kemendagri sebagai batu penjurunya, segera menuntaskan tumpukan pekerjaan rumah.

Salah satu yang harus diperbaiki adalah mekanisme yang memadai untuk mengevaluasi rancangan perda, seiring dengan kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengawasan preventif, berupa evaluasi rancangan peraturan daerah.

Pada sisi lain, Kemendagri menyatakan bahwa mereka sudah memiliki registrasi perda yang tentunya akan memudahkan proses evaluasi perda pasca-pengesahan omnibus law.

Jika kemudian ada perda yang dinilai bertentangan, perda tersebut akan segera dievaluasi. Kementerian juga mempersiapkan indeks kepatuhan terhadap pembentukan produk hukum daerah sebagai bagian strategi penilaian kepatuhan daerah terhadap proses pembentukan perda.

Akhirnya, sekalipun omnibus law disahkan sebagai undang-undang, tentu tidak serta-merta harapan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi langsung terjadi.

Upaya itu bisa menemui kendala tersendiri jika pemerintah abai menyelaraskan kebijakan antara pusat dan daerah dengan dilandasi spirit utama untuk mempermudah iklim investasi, antara lain dengan penyederhanaan perizinan investasi dan koordinasi kebijakan hingga ke tingkat daerah.

https://money.kompas.com/read/2020/02/05/150943326/menanti-omnibus-law-ramah-investasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke