Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Wamen BUMN Cemaskan Rencana Pembangunan Kilang Minyak, Ini Faktanya

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan kilang minyak oleh PT Pertamina (Persero) tengah menjadi sorotan publik beberapa hari ini.

Pasalnya, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin sempat menyampaikan kekhwatirannya terkait rencana pembangunan kilang minyak tersebut.

Sebab, biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangun kilang ini sangat besar, yakni sekitar Rp 800 triliun dalam waktu 7 tahun.

Namun, pada saat bersamaan kendaraan berbahan bakar minyak mulai beralih ke listrik.

Padahal, rencana pembangunan 6 kilang minyak Pertamina merupakan salah satu program utama yang terus digaungkan Presiden Joko Widodo.

Pembangunan kilang diproyeksi mengatasi permasalahan defisit neraca migas yang terus menghantui Indonesia setiap tahunnya.

Berikut rangkuman berita terkait polemik rencana pembangunan kilang minyak Pertamina.

1. Wamen BUMN khawatir dengan pembangunan kilang Pertamina

Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin khawatir pembangunan kilang ini akan sia-sia nantinya.

Sebab, sembari pembangunan kilang dilakukan, transformasi penggunaan bahan bakar kendaraan terus bergerak. Dimana saat ini tengah terjadi peralihan dari kendaraan yang berbahan bakar minyak ke listrik.

"Saya tanya apa kamu (Pertamina) yakin selama depresiasi dari Rp 700 - 800 triliun ini belum selesai dilakukan, tidak ada perubahan sistem energi dari pakai bensin jadi pakai listrik?," tuturnya di Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Menurut Mantan Direktur Utama PT Inalum itu perkembangan zaman terus terjadi dan mendorong adanya transformasi pola kebiasaan masyarakat. Tren transformasi energi BBM ke listrik juga sudah ramai terjadi di dunia.

Oleh karenanya, pria yang juga sempat menjabat Direktur Utama Bank Mandiri itu meminta Pertamina untuk melakukan perhitungan kembali terkait rencana pembangunan kilang tersebut.

"Jadi kalau itu (pembangunan kilang) belum terjadi, akibatnya adalah investasi Rp 700 triliun itu menjadikan produk yang tidak akan dipakai oleh ratusan rakyat Indonesia," ucap dia.

2. Jokowi jengkel dengan lambatnya penyelesaiaan pembangunan kilang

Pembangunan kilang minyak merupakan salah satu fokus utama yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo sejak periode pertamanya memimpin RI.

Program ini selalu ditekankan Jokowi untuk meningkatkan produksi, sehingga mampu mengatasi permasalahan defisit neraca dagang migas.

Pada 2014, Jokowi berencana ingin melakukan pengembangan (Refinery Development Master Plan/RDMP) terhadap 4 kilang yang ada dan membangun 1 kilang baru (grass root/GRR).

Kilang RDMP yang direncanakan yakni kilang Balikpapan, kilang Dumai, kilang Balongan, dan kilang Cilacap.

Sementara kilang baru atau GRR dibangun di Bontang. Belakangan bertambah satu kilang baru yakni GRR Tuban bersamaan dengan diambil alihnya PT Trans Pacific Petrochemical Indotama ( TPPI).

Pada akhir tahun lalu, Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sempat meluapkan kekesalannya terhadap Pertamina, akibat lamanya pembangunan kilang minyak.

"Iya itu ke situ larinya juga pembangunan kilang minyak. Pembangunan kilang minyak itu harus, masa 34 tahun kita enggak bisa bangun kilang minyak, kebangetan," ujarnya, Selasa (10/12/2019).

3. Ahok ditugaskan Jokowi mengawasi pembangunan kilang

Jokowi juga sempat meminta kepada Komisaris Utama Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membereskan masalah kilang TPPI di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, kurang dari 3 tahun.

"Sekarang, saya minta kepada Menteri BUMN, Direktur Utama dan Komisaris Utama Pertamina agar menyelesaikan pembangunan kilang ini tidak lebih dari tiga tahun," kata Jokowi.

Merespon permintaan tersebut, Ahok berkomitmen untuk menyelesaikan segala permasalahan yang menghambat pembangunan kilang di wilayah tersebut.

"Pesan Bapak Presiden Jokowi sangat jelas, segera menuntaskan pengembangan Kawasan TPPI menjadi industri petrokimia nasional yang nanti akan menghasilkan beragam produk turunan petrokimia dan produk BBM," kata Ahok.

Selesainya proyek ini diyakini akan mampu mengurangi impor migas Indonesia secara signifikan. Selain BBM, TPPI juga jadi tumpuan industri petrokimia yang menghasilkan banyak produk turunan migas.

4. Defisit migas terus terjadi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2019 neraca dagang migas mengalami defisit sebesar 9,34 miliar dollar AS.

Defisit ini terjadi akibat realisasi impor migas yang mencapai 21,8 miliar dollar AS sepaniang tahun lalu, sementara ekspor migas hanya mencapai 12,5 miliar dollar AS.

Realisasi defisit migas ini lebih rendah dibandingkan 2018. Dimana pada 2018 defisit neraca migas mencapai 12,6 miliar dollar AS.

Menurunnya angka defisit tersebut ditopang oleh realisasi ekspor dan impor migas yang sama-sama mengalami penurunan pada 2019 dibandingkan 2018.

5. Pembangunan kilang dinilai menjadi keharusan

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pembangunan kilang minyak ini menjadi suatu langkah yang perlu dilakukan.

"Terkait dengan pembangunan kilang oleh Pertamina saya kira ini merupakan suatu ke harusan," kata dia kepada Kompas.com, Rabu (12/2/2020).

Menurutnya, pembangunan kilang menjadi penting untuk mengatasi permasalahan defisit migas yang terus terjadi setiap tahunnya.

"Diharapkan pembangunan kilang ke depan bisa mengurangi impor BBM dan elpiji apalagi konsumsi BBM dan elpiji kita terus meningkat, sementara produksi minyak kita cendrung mengalami penurunan," tutur Mamit.

Selain itu, Mamit menilai transisi penggunaan BBM ke energi listrik tidak akan terjadi secara cepat.

"Kebijakan untuk kendaraan listrik masih belum jelas," katanya.

https://money.kompas.com/read/2020/02/14/051300126/wamen-bumn-cemaskan-rencana-pembangunan-kilang-minyak-ini-faktanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke