Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Begini Tata Cara Pelaporan Harta “Pasar Modal” dalam SPT Pajak

KOMPAS.com - Pasar modal saat ini semakin dikenal masyarakat. Istilah saham, obligasi, dan reksa dana tidak lagi asing di telinga masyarakat. Bahkan jumlah investor meningkat pesat dalam 2 tahun terakhir.

Karena masih baru, banyak yang belum tahu bahwa harta pasar modal ini juga perlu dilaporkan dalam SPT Pajak. Seperti apa tata cara pelaporannya.

Salah satu keunggulan dari produk pasar modal adalah dari sisi perpajakannya.

Sebagai contoh, jika Anda membeli emas batangan atau emas perhiasan 5 tahun yang lalu dan kemudian menjualnya saat ini yang harganya sudah naik, maka atas keuntungan dari emas tersebut anda perlu membayar pajak.

Besaran pajak atas keuntungan dari penjualan emas bersifat progresif. Jika Anda adalah wajib pajak perorangan, maka besarannya pajaknya adalah maksimal 30 persen jika total Penghasilan Kena Pajak (PKP) anda dalam 1 tahun lebih dari Rp 500 juta.

PKP dihitung dari semua penghasilan yang bersifat progresif seperti gaji, bonus, THR, komisi, royalti, honor, termasuk di dalamnya keuntungan dari penjualan aset seperti emas.

Begitu Anda tambahkan keuntungan dari penjualan emas, biasanya akan muncul keterangan kurang bayar dalam E-Filling SPT Elektronik anda.

Mungkin sebagian besar dari Anda tidak pernah sadar atau melaporkan hal tersebut dan selama ini juga baik-baik juga alias tidak ditagih.

Namun jika sesuai aturan, terdapat kolom pada pengisian SPT Elektronik dengan nama Keuntungan dari Penjualan / Pengalihan Harta.

Pada kolom inilah, jika ada keuntungan dari penjualan harta, termasuk di dalamnya emas, dimasukkan besaran keuntungannya.

Dari aspek pajak, produk investasi pasar modal memiliki keunggulan karena pajaknya ada bersifat final seperti saham dan obligasi dan ada yang bersifat bukan objek pajak seperti produk pengelolaan investasi dengan bentuk hukum kontrak investasi kolektif (KIK) salah satunya reksa dana.

Untuk yang bersifat final, biasanya sudah ditetapkan besarannya dalam persentase tertentu dan tidak naik seperti halnya pajak pada penghasilan gaji.

Untuk yang bukan objek pajak, lebih bagus lagi karena kita tidak perlu membayar pajak atas keuntungan dari produk investasi tersebut.

Contoh penghasilan yang bersifat final, bukan objek pajak, besaran tarif, dan tata cara pelaporann penghasilannya adalah sebagai berikut.

Kupon Obligasi Pemerintah dan Korporasi

Merupakan penghasilan yang bersifat final dengan besaran tarif 15 persen. Misalkan seorang investor membeli obligasi senilai Rp 100 juta dengan kupon 10 persen atau Rp 10 juta per tahun.

Maka atas penghasilan ini dilaporkan pada:

* Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final

* Sumber/Jenis Penghasilan :

  1. Bunga Deposito, Tabungan, Diskonto SBI, Surat Berharga Negara (jika obligasi negara)
  2. Bunga/Diskonto Obligasi (jika obligasi korporasi)

* Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/Penghasilan Bruto: Rp 10.000.000 (10 persen dikalikan pokok Rp 100 juta)

* PPh Terutang : Rp 1.500.000 (15 persen dikalikan kupon Rp 10.000)

Pada prakteknya, investor menerima Rp 8,5 juta di rekening dan secara logika akan melaporkan angka tersebut. Namun cara yang benar adalah Rp 10 juta sebagai DPP dan Rp 1,5 juta sebagai Pph Terutang.

Walaupun namanya Terutang, tidak perlu khawatir. Sebab waktu menerima kupon sudah dipotong oleh pihak agen penjualnya.

Biasanya juga ada e-mail yang dikirimkan untuk menunjukkan informasi tersebut.

Email ini cukup disimpan sebagai arsip dan tidak perlu dilampirkan karena memang tidak ada kewajiban menyertakan lampiran. Hanya saja jika suatu saat diperiksa, sebaiknya sudah disiapkan.

Diskonto Obligasi

Pajak mengenalnya sebagai diskonto, sementara pelaku pasar mengenalnya sebagai capital gain.

Dalam investasi obligasi, capital gain dapat berasal dari 2 sumber, Pertama dari transaksi jual beli, misalkan Anda beli di harga Rp 100 juta dan menjualnya di harga Rp 103 juta.

Kedua, dari pembelian obligasi misalkan beli di harga Rp 98 juta dan memegangnya hingga jatuh tempo sehingga menerima Rp 100 juta.

Besaran pajak untuk diskonto sama dengan kupon obligasi yaitu 15 persen.

Diskonto obligasi dilaporkan pada saat tahun diterima. Jika beli di tahun 2018 dan menjualnya di 2019, maka diskonto dilaporkan pada tahun 2019. Untuk yang beli hingga jatuh tempo, maka dilaporkan pada tahun jatuh tempo.

Dengan melanjutkan contoh di atas untuk transaksi jual beli, maka pelaporannya :
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :

  1. Bunga Deposito, Tabungan, Diskonto SBI, Surat Berharga Negara (jika obligasi negara)
  2. Bunga / Diskonto Obligasi (jika obligasi korporasi)

• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 3.000.000 (Rp 103 juta – Rp 100 juta)
• PPh Terutang : Rp 450.000 (Rp 3 juta kali 15 persen)

Pada prakteknya, ketika investor beli di Rp 100 juta dan jual di Rp 103 juta, maka yang akan dia terima adalah Rp 103 juta - pajak 450.000 = Rp 102.550.000 ditambah accrued interest (bunga berjalan) jika ada.

Untuk penerimaan accrued interest, pelaporannya mengacu ke contoh pelaporan kupon obligasi di atas.

Bagaimana jika rugi? Misalkan beli Rp 100 juta dan jual di Rp 98 juta.

Dalam hal ini terjadi, maka tidak perlu dilaporkan dalam bagian diskonto. Kerugian investasi di pasar modal juga tidak mengurangi kewajiban pajak secara keseluruhan.

Transaksi Penjualan Saham

Banyak masyarakat yang masih salah belum paham tentang pelaporan saham perusahaan tbk termasuk investor saham itu sendiri. Pertama, saham tbk itu pajaknya bersifat final. Kedua, yang dilaporkan adalah nilai penjualannya saja.

Besaran pajak atas penjualan saham adalah 0,1 persen dari nilai transaksi. Nilai biasanya sudah dibayarkan oleh investor dalam biaya jual beli saham.

Angka ini juga yang menjadi dasar selisih biaya transaksi beli dan jual. Misalkan beli 0,2 persen dan jual 0,3 persen.

Misalkan seorang investor memiliki modal Rp 100 juta. Transaksi yang dia lakukan adalah sebagai berikut :

  1. 10 Januari 2019 beli saham ABCD senilai Rp 100 juta
  2. 15 Februari 2019 jual saham ABCD senilai Rp 120 juta (untung 20 juta)
  3. 28 Februari 2019 beli saham WXYZ senilai Rp 120 juta
  4. 8 Juni 2019 jual saham WXYZ senilai Rp 80 juta (rugi 40 juta)
  5. 18 November 2019 beli saham XXXX senilai Rp 80 juta
  6. Akhir Desember 2019 nilai saham XXXX naik menjadi Rp 150 juta dan belum dijual

Maka pelaporannya adalah sebagai berikut:
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :

  • 3. Penjualan saham di bursa efek

• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 200 juta (penjumlahan transaksi nomor 2 dan 4)
• PPh Terutang : Rp 200.000 (Rp 200 juta kali 0,1 persen)

Transaksi yang belum dijual (nomor 6) tidak perlu dilaporkan. Untung atau rugi juga tidak relevan dalam hal pajak karena yang dilaporkan merupakan nilai penjualan bukan keuntungan.

Angka PPh terutang juga sudah dibayarkan. Anda cukup menyimpan Trade Confirmation dari perusahaan sekuritas sebagai lampiran jika sewaktu-waktu diperiksa. Namun sama seperti obligasi, tidak perlu dilampirkan pada saat membuat SPT.

Dividen saham tbk

Melanjutkan contoh di atas, misalkan pada 4 Maret 2019, ternyata saham WXYZ membagikan dividen sebesar Rp 10 juta. Maka pelaporannya sebagai berikut :
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :

  • 12. Dividen

• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 10 juta
• PPh Terutang : Rp 1.000.000 (Rp 10 juta kali 10 persen)

Tarif pajak untuk dividen pemegang saham non pengendali (kepemilikan di bawah 25 persen) adalah sebesar 10 persen. Sama seperti kupon obligasi, pada saat dividen ini dibayarkan juga sudah dipotong pajaknya sehingga yang diterima hanya Rp 9 juta.

Informasi mengenai dividen bisa dicek pada informasi Corporate Action yang dikirimkan oleh perusahaan sekuritas.

Reksa Dana dan Produk Pengelolaan Investasi

Ada berbagai jenis reksa dana dan produk pengelolaan investasi.

Mulai dari yang dikenal umum seperti Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Campuran, Reksa Dana Saham, Reksa Dana Terproteksi, dan versi reksa dana syariahnya hingga ke jenis yang masih kurang dikenal seperti Reksa Dana Penyertaan Terbatas, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA), Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA), dan Dana Investasi Real Estat (DIRE).

Pada dasarnya semua produk di atas menggunakan dasar hukum Kontrak Investasi Kolektif. Berdasarkan aturan perpajakan, bagian keuntungan dari pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif bukan objek pajak.

Dalam bahasa awam, artinya keuntungan yang Anda peroleh dari reksa dana tidak perlu bayar pajak dan tidak ada potongan pajak seperti halnya pada saham dan obligasi.

Misalkan seorang investor memiliki transaksi sebagai berikut :

  1.  Beli Reksa Dana Saham 15 Januari 2019 Rp 100 juta
  2. Jual Reksa Dana Saham 19 November 2019 Rp 115 juta (untung 15 juta)
  3. Beli Reksa Dana Terproteksi 10 Maret 2019 Rp 200 juta.
  4. Terima Dividen dari Reksa Dana Terproteksi sebesar Rp 15 juta selama 2019
  5. Beli Reksa Dana Pasar Uang 27 Juni 2019 Rp 150 juta.Nilai Pasar Reksa Dana Pasar Uang pada 31 Desember 2019 adalah Rp 155 juta

Maka pelaporannya adalah sebagai berikut :
• Bagian B. Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak
• Sumber / Jenis Penghasilan :

  • 6. Penghasilan lainnya yang tidak termasuk objek pajak

• Nilai yang diisi : Rp 30 juta (penjumlahan dari keuntungan B dan Dividen D)

Jika transaksinya rugi, maka tidak perlu diisi. Dalam reksa dana juga tidak ada bukti potong seperti halnya saham dan obligasi.

Namun untuk lampiran, Anda bisa meminta konfirmasi transaksi yang diterbitkan bank kustodian atau terkadang juga disediakan oleh situs manajer investasi / agen penjualnya.

Penghasilan yang bersumber dari pasar modal memang praktis karena kalau bukan sudah final, maka bukan objek pajak. Meski demikian tetap perlu dilaporkan karena nilai tersebut bisa menjadi dasar untuk menjelaskan apabila dana tersebut anda gunakan untuk membeli aset baru.

Jika tidak dilaporkan, justru merugikan bagi Anda, karena bisa jadi nanti antara pertambahan harta dan penghasilan menjadi tidak seimbang sehingga berpotensi menjadi objek pemeriksaan.

Pelaporan Sebagai Harta

Selain penghasilan, aset pasar modal juga perlu dilaporkan sebagai harta. Kode harta yang terdapat dalam SPT adalah sebagai berikut.

Kas dan Setara Kas
011= Uang tunai.
012= Tabungan.
013= Giro.
014= Deposito.
015= Setara kas lain.

Piutang
021= Piutang.
022= Piutang afiliasi atau piutang kepada instansi yang memiliki hubungan istimewa (pasal 18 ayat 4 UU PPh).
029= Piutang lain.

Investasi
031= Saham yang dibeli untuk dijual kembali.
032= Saham.
033= Obligasi perusahaan.
034= Obligasi pemerintah, seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
035= Surat utang lain.
036= Reksadana.
037= Instrumen derivatif seperti rights, waran, kontrak berjangka dan sebagainya.
038= Penyertaan modal perusahaan lain seperti penyertaan modal pada CV, firma, dan sebagainya.
039= Investasi lainnya.

Alat Transportasi
041= Sepeda.
042= Sepeda motor.
043= Mobil.
049= Alat transportasi lain.

Harta Bergerak Lain
051= Logam mulia seperti emas batangan, perhiasan, platina batangan, platina perhiasan dan logam mulia lain.
052= Batu mulia seperti intan, berlian dan batu mulia lain.
053= Barang seni dan antik.
054= Kapal pesiar, pesawat terbang, helikopter, jet ski, dan peralatan olahraga khusus.
055= Peralatan elektronik dan furnitur.
059= Harta bergerak lainnya.

Harta Tidak Bergerak
061= Tanah maupun bangunan tempat tanggal.
062= Tanah maupun bangunan usaha seperti toko, pabrik, gudang dan sebagainya.
063= Tanah atau lahan untuk usaha seperti lahan pertanian, perkebunan, perikanan darat dan sebagainya.
069= Harta tidak bergerak lainnya.

Dengan melanjutkan contoh di atas, maka pelaporan aset pasar modal dalam SPT adalah sebagia berikut :
Obligasi
• Kode : 034 (pemerintah) atau 033 (korporasi)
• Nama Harta : Obligasi (tidak perlu sampai seri-serinya jika banyak)
• Tahun Perolehan : 2019
• Harga Perolehan : Rp 100 juta atau Rp 98 juta (dicatat harga beli, bukan harga pasar)
• Keterangan : diisi nama dan nomor rekening di perusahaan tempat bertransaksi. Jika ada banyak seri, nilai harga perolehan bisa digabung.

Saham
• Kode : 031 (Saham Tbk) atau 032 (saham non tbk ? dalam konteks ini tidak digunakan)
• Nama Harta : Saham (tidak perlu sampai nama per saham)
• Tahun Perolehan : 2019
• Harga Perolehan : Rp 80 juta (saham XXXX yang dibeli terakhir dan ingat bukan harga pasar)
• Keterangan : disii nama dan nomor rekening di perusahaan sekuritas

Reksa Dana
• Kode : 036
• Nama Harta : Reksa Dana (tidak perlu per nama)
• Tahun Perolehan : 2019
• Harga Perolehan : Rp 350 juta ( harga beli Reksa Dana Terproteksi dan Reksa Dana Pasar Uang yang masih belum dijual, tidak menggunakan nilai pasar)
• Keterangan : diisi nama dan nomor rekening di perusahaan sekuritas, manajer investasi atau bank agen penjual.

Demikian artikel panduan ini, semoga bermanfaat.

https://money.kompas.com/read/2020/03/07/120900526/begini-tata-cara-pelaporan-harta-pasar-modal-dalam-spt-pajak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke