Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pak Presiden, Kartu Prakerja Butuh Evaluasi

Namun, apakah pelaksanaannya harus sekarang? Dan, dengan format seperti itu? Mungkin baiknya Bapak evaluasi program itu sebelum telanjur anggaran itu dibelanjakan.

Sebab-musababnya tentu sama, karena wabah corona. Semua sektor sedang mandeg, berhenti. Sampai-sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) juga terjadi di mana-mana. Angkanya sampai 1,5 juta karyawan sudah di PHK dari 83.546 perusahaan.

Itu dari perusahaan-perusahaan skala besar. Lalu bagaimana dengan skala menengah dan kecil? Mungkin tunggu waktu.

Paket pelatihan Kartu Prakerja ini diklaim untuk lakukan up-skilling dan re-skilling. Nilainya 5,6 triliun dari keseluruhan program yang totalnya 20 triliun. Target awal diperuntukkan bagi 5,6 juta orang yang belum bekerja.

Pascarilis, yang registrasi sudah sampai 6 juta orang. Agar massif, pelatihan dilaksanakan secara online. Tentu diandaikan pelatihan online lebih murah daripada offline.

Netizen ramai dan viral di mana-mana. Katanya sebagian mata ajar pelatihan bisa diakses di Youtube secara cuma-cuma. Bahkan sebagian memang pantas dijulidin, seperti pelatihan memermak tampilan curriculum vitae untuk lamar pekerjaan. Lha wong 1,5 juta karyawan saja baru di PHK. Ironi.

Waktu dan realokasi

Alih-alih menjalankan pelatihan di masa corona, lebih baik anggaran itu direalokasi. Perusahaan skala besar, yang bergantung pada global supply chain, mulai rontok. Sebab pasokan-buangan mereka bergantung dengan negara lain.

Jadi, kita butuh safety belt di masa pandemi. Lagi-lagi, ke perusahaan skala kecil dan menengah, yang mereka tak bergantung pada global supply chain.

Anggaran Kartu Prakerja bisa direalokasi ke sana. Bentuknya bisa subsidi operasional usaha. Sebagian usaha skala kecil dan menengah saat ini masih operasional. Namun omset mereka terkoreksi tajam, 50-80 persen.

Padahal, mereka tetap harus menanggung beban gaji karyawan. Anggaran sebesar itu bisa untuk menyubsidi gaji mereka. Sebagian dibayar oleh pengusaha, sebagian oleh pemerintah.

Saya pernah bikin simulasinya pada kota/kabupaten dengan status zona merah tanpa PSBB. Kota/kabupaten seperti itu UMR-nya pada rentang 2-3 juta rupiah.

Subsidi gaji ini bisa diperuntukkan hanya untuk middle dan low management. Subsidinya juga bisa dibuat bervariasi tergantung dari penurunan omset.

Skema subsidinya bisa dibuat berjenjang sepert ini. Penurunan omset 20-30 persen memperoleh subsidi sampai 30 persen; 40-50 persen memperoleh subsidi 40 persen. Penurunan omset 60-80 persen mendapat subsidi sampai maksimal 50 persen.

Angkanya dihitung bukan dari take home pay (THP), melainkan disesuaikan dari UMR/UMK masing-masing kota/kabupaten.

Subsidi operasional ini dampaknya sistemik. Perusahaan skala kecil dan menengah yang masih beroperasi, tak perlu merumahkan apalagi PHK karyawannya. Kemudian barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, jadi tetap bisa diakses. Misalnya toko sembako, toserba, rumah makan dan lain sebagainya.

Gerak ekonomi, meski terbatas, tetap bisa berjalan di tengah wabah. Tidak ketinggalan, daya beli masyarakat terungkit, toh para karyawan itu konsumen juga.

Dalam perhitungan, dengan mengandaikan subsidi minimum 20 persen dan maksimum 50 persen dari UMK, untuk per 1 juta karyawan dibutuhkan anggaran 60-150 milyar rupiah.

Bila kita buat rata-ratanya, dibutuhkan 105 milyar per bulan. Lalu bila subsidi itu diberikan selama tiga bulan, maka besarnya 315 milyar per 1 juta karyawan.

Data menyebutkan, usaha kecil menyerap 5,7 juta dan usaha menengah 3,7 juta karyawan. Jadi totalnya 9,4 juta karyawan. Bila semuanya mau disubsidi selama tiga bulan, hanya butuh anggaran 2.835.000.000.000 atau kurang-lebih Rp 3 triliun.

Pendataan dan teknis lainnya Pemerintah bisa menggerakkan Kementerian Koperasi, Kementerian Tenaga Kerja, dinas kota/kabupaten, HIPMI, HIPSI, BDSI, PLUT, Kadin, Gojek, Grab, Moka, Pawon, dan berbagai asosiasi lainnya.

Saya yakin saat ini semua pihak itu mau berkolaborasi dan bisa diorkestrasi oleh pemerintah pusat.

Format dan kelembagaan

Bila pascapandemi Kartu Prakerja ini mau dijalankan, formatnya juga perlu dibenahi. Memprioritaskan pelatihan berbasis online ini terlalu menyepelekan. Seolah semua keterampilan bisa dilatih secara digital.

Ditambah lagi, yang mengeruk keuntungan atas pelatihan online itu adalah perusahaan platform semata.

Obrolan warung kopi, bila saya punya uang sebanyak Rp 5,6 triliun, saya akan beli semua perusahaan itu, alih-alih sekedar kerja sama. Itu masuk akal, bukan?

Mari kita bayangkan, selepas mereka mengikuti pelatihan, lalu mereka membuka usaha atau menjual keterampilannya. Pendekatan ini simalakama.

Alih-alih kita lakukan reindustrialiasi, justru sebaliknya kita sedang mencetak para pekerja informal. Mereka sejauh-jauhnya akan menjadi wirausahawan pemula dengan skala mikro atau pekerja lepas (freelancer) yang rentan secara sosial-ekonomi.

Apa yang luput dari Kartu Prakerja adalah membangun kapasitas kelembagaan bagi mereka. Skemanya bisa bervariasi. Pertama, menyalurkan ke perusahaan yang membutuhkan selepas lulus pelatihan.

Ini seperti yang dikembangkan oleh Binar Academy. Coraknya memang beda dengan startup unicorn lainnya, sebab Binar ini termasuk startup Zebra. Butuh waktu memang, namun hasilnya berkelanjutan.

Yang kedua, bisa dengan memagangkan ke berbagai perusahaan. Itu juga sudah dikerjakan oleh startup di Indonesia, namanya Star4Hire.com dan TopKarir.com. Dengan pemagangan ini, keterampilan yang sudah dilatih bisa dirawat dan dikembangkan sesuai kebutuhan riil pasar.

Ketiga, dengan mengelompokkan mereka untuk kemudian mendirikan perusahaan bersama, koperasi pekerja (worker co-op), contohnya.

Koperasi bekerja sebagai agregator, kontraktor atau agensi yang memasarkan produk dan jasa mereka. Berbagai kapasitas seperti manajerial, perizinan, keuangan, pemasaran, quality control dan lain sebagainya, dikerjakan oleh koperasi.

Keempat, bisa disalurkan ke berbagai lembaga inkubator bisnis di masyarakat. Targetnya tentu mereka tak lagi sekedar menjual keterampilannya, melainkan membangun sebuah perusahaan startup, baik yang bergerak di teknologi digital, kuliner, produk inovatif atau varian lainnya.

Tanpa basis kelembagaan, mereka hanya akan menjadi buruh murah, bedanya, memiliki keterampilan baru atau non-konvensional.

Mereka akan menjadi kelas yang rentan, para sarjana menyebutnya sebagai precariat atau precarious proletariat.

Bila kita menghadapi goncangan ekonomi karena krisis atau pandemi seperti sekarang, mereka langsung mengalami kerentanan secara sosial dan ekonomi.


Kepentingan dan aturan

Hal ketiga yang perlu dievaluasi adalah terkait konflik kepentingan dalam program ini. Seminggu terakhir media sosial ramai soal Staf Khusus Presiden, Belva Delvara yang diduga bias kepentingan dalam program Kartu Prakerja.

Sebab, Belva adalah CEO Ruang Guru yang menjadi salah satu platform penyedia pelatihan online itu. Masyarakat menilai Belva tidak memiliki integritas sebagai pejabat negara.

Sayangnya, setelah dapat kritik dari sana-sini, Belva justru menyampaikan siap mundur dari posisinya sebagai Staf Khusus Presiden. Artinya, ia lebih memenangkan karirnya di Ruang Guru daripada baktinya kepada negara.

Pilihan yang bijak adalah bila Belva menyampaikan Ruang Guru atau Skill Academy memilih mundur dari penyedia pelatihan Kartu Prakerja. Di situlah integritasnya akan memperoleh acungan jempol.

Sulit untuk tak mengatakan Belva kedap kepentingan di mana ia berada dalam posisi pengambil kebijakan di lingkaran kepresidenan.

Ia memiliki akses informasi yang lebih mudah dibanding platform lainnya. Asimetri informasi terjadi antara satu dengan yang lain. Termasuk peluangnya untuk mempengaruhi langsung kebijakan atau program tersebut.

Lantas, bila Belva tetap mundur dari jabatannya, bagaimana Pemerintah atau Presiden harus merespon? Saya pikir aturannya harus tegas. Ruang Guru atau Skill Academy dikeluarkan dari program itu.

Hal itu untuk menjaga integritas Presiden atau Pemerintah. Sehingga bola tidak liar dengan prasangka kemana-mana, misalnya dugaan kongkalikong pejabat lainnya pada Kartu Prakerja.

Penyediaan pelatihan ini nampaknya memang didesain untuk "sesederhana" mungkin dengan memilih pola kerjasama dan bukannya tender atau penunjukan langsung.

Skemanya pemerintah mentransfer uang, melalui aneka dompet elektronik, ke peserta. Mereka membelanjakannya di berbagai platform yang bekerjasama. Jadilah tidak ada transfer anggaran pemerintah ke platform secara langsung.

Paket pelatihan itu nilainya Rp 1 juta per orang. Bila ada 1 juta orang membelanjakannya di satu platform yang sama, maka platform langsung memperoleh pendapatan sebesar Rp 1 triliun.

Itu angka yang sangat besar dan mahal hanya untuk belajar materi sekelas "Cara Dapat Uang dari Youtube", "Belajar Desain Grafis dengan Photoshop", "Sukses Bisnis Online di Instragram" seperti yang ditawarkan Skill Academy.

Evaluasi dan pending

Pak Presiden, menurut saya, tidak cukup alasan mendesak untuk menjalakan program Kartu Prakerja di masa pandemi ini. Evaluasi total harus dilakukan terhadap program tersebut. Sebaliknya, pascapandemi program ini bisa membantu recovery ekonomi dan dunia bisnis Indonesia.

Lebih bijak bagi Pemerintah untuk merealokasikan anggaran tersebut ke penanganan corona. Orang Nahdliyyin punya postulat hukum yang bagus, "Dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih". Artinya, menolak keburukan lebih didahulukan daripada membuat kebajikan.

Dalam kasus ini, merealokasi anggaran untuk menangani dampak sistemik corona, lebih diutamakan daripada untuk membuat pelatihan keterampilan.

https://money.kompas.com/read/2020/04/22/102302626/pak-presiden-kartu-prakerja-butuh-evaluasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke