Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Secercah Asa di Tengah Ancaman Resesi

Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan berada di level 2,3 persen.

Bahkan dalam kondisi yang terburuk, diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa minus 0,4 persen.

Dalam menghadapi situasi yang genting ini, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tidak minus.

Salah satunya adalah dengan menjaga stablitas daya beli masyarakat agar tingkat konsumsi rumah tangga tidak melorot. Diakui bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia masih didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia.

Sebagai gambaran saja, pada tahun 2019, dari 5,17 persen pertumbuhan ekonomi nasional, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,74 persen atau lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi tersebut.

Lantas bagaimana dengan memastikan pertumbuhan ekonomi nasional? Sejumlah langkah telah diambil pemerintah salah satunya adalah pemberian paket stimulus fiskal pada tiga aspek yang mencakup aspek kesehatan, perlindungan sosial, serta upaya menjaga kinerja pelaku usaha.

Langkah tersebut juga perlu dibarengi dengan perlunya regulasi yang tanggap terhadap dinamika perekonomian.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan inisiasi kebijakan yang berorientasi pada kepastian usaha bagi para pelaku usaha, terutama bagi industri-industri baru yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Salah satu contoh potensi industri baru tersebut adalah industri produk tembakau alternatif. Sebagai gambaran, dari sektor industri baru ini yang direkognisi oleh pemerintah pada tahun 2017, pada 2019 telah menyumbang pendapatan negara sebesar Rp 426,6 miliar melalui pengenaan tarif cukai.

Belum lagi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan usaha di skala retail di sektor industri ini.

Sangat disayangkan, hingga saat ini pemerintah belum meregulasi sektor produk tembakau alternatif.

Padahal regulasi yang tersedia tentang produk tembakau alternatif saat ini hanya berfokus pada penerimaan pendapatan cukai dari produk hasil inovasi teknologi. Beleid tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 yang merupakan revisi atas PMK Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Dalam peraturan tersebut, produk tembakau alternatif, termasuk produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dengan besaran tarif cukai 57 persen. Kendati tarif tersebut merupakan tarif cukai tertinggi yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

Di satu sisi, kebijakan tersebut berdampak positif bagi perekonomian nasional, dimana telah membuka ruang bagi pelaku usaha di industri ini untuk terus tumbuh dan membuka lapangan pekerjaan baru.

Namun di sisi lain, produk HPTL justru dibebani tarif cukai yang lebih tinggi dari tarif cukai rokok, yakni sebesar 57 persen. Padahal, besaran tarif cukai semestinya disesuaikan dengan tingkat eksternalitas negatif (profil risiko) dari suatu produk.

Beberapa hasil penelitian sudah menunjukan kendati produk HPTL bukanlah produk yang bebas risiko, namun profil risiko produk tembakau alternatif jauh lebih rendah dibandingkan rokok.

Bahkan, produk ini juga dianggap dapat membantu perokok yang sulit berhenti merokok. Oleh karena itu, tarif cukai produk tembakau alternatif semestinya lebih rendah dibandingkan tarif cukai rokok.

Perlunya inisiasi kebijakan

Hingga saat ini ketersediaan regulasi yang menjadi dasar legalitas produk tembakau alternatif masih didasarkan pada regulasi rezim cukai, sehingga obyek yang diatur dalam regulasi tersebut hanya mencakup tarif cukai, tidak sampai mengatur lebih jauh ihwal produknya. Padahal, kebutuhan terhadap regulasi yang mengatur produk tembakau alternatif cukup mendesak.

Kehadiran regulasi ini diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan hukum bagi konsumen sekaligus juga bagi pelaku usaha. Penyediaan instrumen kebijakan (by giving regulation) bertujuan untuk memastikan serta menjamin hak dan kewajiban subjek hukum, dalam konteks ini adalah konsumen dan para pelaku industri, seperti produsen, distributor, dan lainnya.

Berdasarkan kajian ilmiah, produk-produk tembakau alternatif merupakan produk inovatif yang dianggap mampu mengurangi risiko kesehatan bagi pengguna maupun lingkungan sekitarnya. Absennya regulasi berdampak pada tidak adanya kepastian hukum yang justru sangat dibutuhkan oleh para pelaku industri maupun konsumen.

Fakta juga menunjukan bahwa saat ini industri produk tembakau alternatif di Indonesia sudah mulai tumbuh, dengan mayoritas pelaku usaha merupakan kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ketersediaan regulasi yang jelas tentang produk ini juga diharapkan dapat menciptakan efek berganda positif atau multiplier effect yakni menekan angka perokok sekaligus menggenjot pendapatan negara. Selain itu, peluang bagi tumbuhnya bisnis UMKM, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan investasi, serta pendapatan devisa dari ekspor produk tembakau alternatif juga menjadi sederet benefit dari ketersediaan regulasi ini.

Penurunan prevalensi dan jumlah perokok di Indonesia yang saat ini sudah mencapai sekitar 60 juta jiwa merupakan harapan jangka panjang jika regulasi produk tembakau alternatif dihadirkan. Salah satu contoh negara yang efektif menurunkan jumlah perokok adalah Inggris.

Inggris merupakan negara yang mendukung secara penuh penggunaan produk ini dan telah menerbitkan regulasi secara komprehensif karena didasarkan pada kajian ilmiah yang telah dilakukan oleh lembaga pemerintah dan lembaga riset independen.

Pengaturan yang spesifik

Dikarenakan profil risikonya yang lebih rendah dari rokok, regulasi produk tembakau alternatif atau HPTL sebaiknya diatur secara spesifik dan terpisah dari aturan rokok.

Kehadiran regulasi produk HPTL diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk merumuskan standar produk, peringatan kesehatan yang berbeda dengan rokok, tata cara pemasaran, dan batasan umur pengguna agar tidak digunakan oleh anak-anak di bawah umur 18 tahun dan non-perokok.

Selain itu, kehadiran regulasi ini juga penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan produk.

Di samping karena profil risiko yang lebih rendah dari rokok, alasan pengaturan HPTL yang terpisah dari rokok juga didasarkan pada pertimbangan semangat pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) dan pengurangan risiko kesehatan akibat rokok.

Selain itu, diharapkan dapat memberikan akses bagi para perokok aktif agar dapat beralih ke produk yang lebih rendah risiko seperti produk tembakau alternatif sehingga risiko bahaya sebagai akibat dari kebiasaan merokok pelan-pelan dapat dikurangi.

Simpang siurnya informasi seputar profil risiko produk tembakau alternatif disebabkan karena penelitian-penelitian yang ada dilakukan secara parsial, partikular oleh lembaga-lembaga riset independen, kendati pemerintah juga semestinya tidak mengabaikan hasil-hasil riset tersebut.

Sebaliknya, pemerintah semestinya dapat menginisiasi penelitian secara konsorsium tentang produk tembakau alternatif dengan melibatkan banyak pihak sehingga hasil penelitiannya dapat menepis kesimpangsiuran informasi tentang profil risiko produk tembakau alternatif.

Hasil penelitian tersebut, di samping menjadi sumber informasi yang otoritatif bagi masyarakat, juga dapat dijadikan sebagai salah satu landasan perumusan kebijakan tentang produk tembakau alternatif untuk menambah derajat kualitas regulasi yang akan diterbitkan.

Ketiadaan regulasi yang akomodatif bagi pelaku industri dan jaminan kepastian bagi produk tembakau alternatif berpeluang akan dimanfaatkan oleh para pelaku usaha ilegal.

Situasi ini tentu akan berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Perokok dewasa akan mencari produk-produk ilegal agar tetap dapat mengonsumsi produk tembakau alternatif, kendati tidak ada standar keamanan produk yang jelas.

Sebagai contoh kasus yang terjadi pada pertengahan 2019 lalu, produk-produk ilegal dapat disalahgunakan dengan adanya tambahan senyawa berbahaya bagi kesehatan seperti narkoba.

Selain itu, produk-produk ilegal tersebut juga menghindar dari kewajibannya untuk membayar cukai ke negara. Ketiadaan regulasi juga akan membuka peluang penyalahgunaan produk oleh anak-anak karena tidak adanya ketentuan tentang batasan usia pengguna produk.

Kehadiran regulasi yang secara spesifik mengatur ihwal produk HPTL juga dapat dimaknai sebagai sarana perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah, baik perlindungan hukum bagi konsumen sekaligus perlindungan dan kepastian hukum bagi pelaku industri.

Oleh karenanya, di dalam proses perumusan kebijakan perlunya pemerintah membuka ruang-ruang diskusi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari pelaku industri, konsumen dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyamakan persepsi tentang tentang arah kebijakan yang akan dibuat.

Langkah ini juga sebagai wujud pelibatan partisipasi publik yang secara konstitusional juga diakui di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar kebjakan yang dilahirkan merupakan cermin dari segenap aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Kehadiran regulasi sebagaimana dimaksud juga diharapkan dapat menjadi stimulus bagi industri-industri kecil untuk dapat terus berkembang dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus menyelamatkan ekonomi dari ancaman resesi.

https://money.kompas.com/read/2020/04/25/211100526/secercah-asa-di-tengah-ancaman-resesi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke