Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peradaban Manusia Seabad Mendatang

Negara Tirai Bambu yang kadung kalah cepat mengelola jaringan internet 5G, memilih jadi yang terdepan menggarap 6G. Proyek ini dapat menawarkan kecepatan hingga 1 terabyte per detik atau 8.000 gigabit per detik, lebih cepat dari 4G yang kini kita nikmati.

Percepatan ini akan membuka pintu bagi jenis penggunaan internet yang benar-benar anyar, dan merevolusi hubungan manusia dengan teknologi. Era 6G mampu menawarkan sudut pandang, cara pandang, jarak pandang, dan batas pandang baru antarmuka otak-komputer. Sangat mungkin suatu saat penggunaan perangkat internet bisa diakses melalui pikiran kita.

Sejak beberapa bulan lalu, saya malah sudah bisa berselancar di antariksa dengan teleskop yang ditanam dalam gawai.

Seiring jalan dengan fenomena itu, ekonomi berbasis digital pun kini sedang tumbuh melampaui presedennya. Nyaris semua sendi perekonomian kita, sudah dilebur dalam transaksi e-banking.

Kelahiran uang digital yang digalakkan di Davos, perlahan mendekati kenyataan. Tak perlu lagi berduyun-duyun masuk kantor. Cukup menyalakan WiFi. Maka pekerjaan pun beres seketika.

Ranah pendidikan pun tak mau ketinggalan lokomotif. Kelas tatap muka mulai tergantikan. Guru-murid tak perlu lagi bersua. Cukup duduk manis di depan layar. Kerjakan tugas. Kumpulkan matrikulasi nilai. Para sarjana pun siap diwisuda secara daring. Setelah itu, kami belum tahu apa yang kelak bisa mereka kerjakan untuk dunianya.

Lantas bagaimana dengan nasib agama? Ya setali tiga uang. Ketika kecil dulu, saya tak sempat berpikir jika di dalam masjid kelak akan terpasang kamera pengintai, televisi layar datar, dan penyejuk udara.

Mungkin suatu saat nanti, para maling harus meramu cara lebih jitu agar bisa mengambil hak mereka yang didepositokan dewan masjid dalam tromol.

Nampaknya pula, prasarana ibadah takkan lagi ramah pada bromocorah. Rumah tuhan tak pantas dikotori gundah gulana mereka yang durjana.

Dunia sedang bersalin rupa menyibak tabir Dunia Lama. Tinggal landas menuju peradaban model paling kiwari. Manusia yang gagap teknologi, berpotensi ketinggalan kereta di peron masa lalu.

Kini kita mesti bersinggungan dengan rekayasa genetika, nanoteknologi, tekno-humanisme, gelombang mikro, dominion gelap ultraviolet, dan dataisme.

Pranata hidup kita perlu ditimbang ulang, dikoreksi, diperbaharui. Itu jika kita tak ingin gigit jari sendiri.

Jalan raya tak lagi semrawut. Pasar hilang kumandang. Tawar menawar tinggal jadi legenda. Pertemuan secara fisik berganti piksel bercitra gambar.

Seratus tahun ke depan, konon keluarga manusia akan lebih bahagia. Waktu kita yang kadung dirampas kapitalisme ultraliberal, akan kembali pulang ke haribaan kemanusiaan. Betulkah demikian?

Sejatinya tak terlalu benar begitu. Soko guru kehidupan masih harus dipertahankan. Jika negara lain yang mesin ekonominya kian mengebul mengepulkan kapital, maka anak kandung Nusantara harus tetap mengembangkan sektor pangan. Sebab pada kenyataannya, negeri para pelaut tangguh ini, juga dihidupi petani ulung.

Warisan Galuh Agung

Jikalau pengambil kebijakan kita ingin tampil ke panggung kehormatan dunia sebagai bangsa mandiri, maka siapkanlah perangkat pendukung yang menaungi keluarga besar nelayan dan petani.

Mahasiswa fakultas pertanian tak usah lagi memberi penyuluhan berbusa. Toh tangan dan kaki mereka pun tak pernah berjela lumpur. Punggungnya belum lagi terbakar panas baskara.

Kota-kota kita jangan lagi menjual kue ekonomi yang basi. Janji palsu abad ke-20 sudah harus dihapuskan dari muka bumi.

Tengoklah Jepang. Basis kehidupan tradisional mereka tetap berjalan. Menyokong industri manufaktur yang meluncur bebas menembus batas benua.

Namun, Jepang mesti berkutat dengan generasi yang terputus. Angkatan kerja mereka didominasi para lansia. Sementara pemudanya sibuk menggalakkan antikemapanan. Paradoksal yang komikal. Indonesia jangan pula begitu rupa.

Para petani muda harus melanjutkan masa depan agraria bangsa kita. Anak-anak kampung tak perlu mengabdi ke pabrik, atawa jadi golongan kerah putih. Bertani, berkebun, bertambak, berlayarlah dengan semangat Negeri Bahari.

Jangan biarkan lahan pertanian berubah jadi kluster perumahan sekelompok orang kaya di kota.

Anak petani boleh sekolah tinggi di universitas agrikultur. Tapi jangan cuma tahu teori belaka. Turun pula ke sawah, ladang, atau huma. Anak nelayan pun demikianlah.

Jika tak demikian yang terjadi, gelar Zamrud di Timur, atau Sepotong Surga di Bumi yang disematkan bangsa dari Atas Angin kepada negeri ini, kelak hanya jadi arkaik.

Gemah ripah loh jinawi kan berarti; tenteram-makmur serta sangat subur tanahnya. Bilamana ibu pertiwi tak lagi dihormati, apatah lagi yang bisa kita karyakan?

Barangkali sebuah khazanah kebudayaan dari Bima ini bisa menjadi pelajaran berharga. Di sana mereka terbiasa ngaji ringa (ngaji dengar), ngaji eda (ngaji lihat), ngaji ruku (ngaji tingkah), ngaji rawi (ngaji laku), dan ngaji iu (ngaji rasa).

Anak-anak manusia memang belajar dari mendengar, melihat, merenung. Setelah itu kita mulai berbuat dan merasakan.

Momentum Lebaran pada tahun pandemi ini, setidaknya memantik kesadaran kita, betapa Nusaraya dihamparkan Tuhan dengan ciri surgawi yang dikabarkan kitab suci samawi—sebagaimana tersurat pula dalam lontara Amanat Galunggung:

"Na twah rampés dina urang, agamaning paré, mangsana jumarun, telu daun, mangsana dioywas, gedé paré, mangsana bulu irung, beukah, ta karah nunjuk langit, tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya, umeusi ta karah lagu tungkul, harayhay asak, tak karah candukur, ngarasa manéh kaeusi.

"Adapun amal yang sempurna pada diri kita adalah ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar tiga daun. Saat diangkat, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah paras namanya. Setelah berisi tiba, saat mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena diri telah berisi."

Mengaji geliat China

Selain dalam diri kita telah mengalir deras sungai mitokondria dari surga, mesti juga kiranya kita amati apa yang sedang dikerjakan bangsa China sejauh ini. Mari kita menuju Pelabuhan Ningde, pesisir Fujian.

Sedari Zhejiang ke Guangdong, lebih dari 1.000 mil dari garis pantai, terdapat jutaan kandang yang mengambang di lautan. Para petani membudidaya ikan, udang, kepiting, lobster, kerang, dll, dengan memanfaatkan perairan terbuka. Waduk, sungai, dan danau, juga dipadat karya demi meningkatkan produk air mereka.

Diperkirakan total konsumsi makanan laut global tahunan adalah 144 juta ton. China adalah konsumen makanan laut terbesar. Menyumbang 45 persen dari total global dengan 65 juta ton, diikuti Uni Eropa (13 juta ton), Jepang (7,4 juta ton) Amerika Serikat (7,1 juta ton), dan India (4,8 juta ton).

China dan India memiliki populasi yang nyaris sama, tetapi konsumsi makanan lautnya 12 kali lipat dari India.

Dari 65 juta ton makanan laut yang dikonsumsi saban tahun di China, hanya 15 juta ton yang ditangkap, dan 50 juta ton lainnya berasal dari peternakan akuakultur.

Sementara 90 persen makanan laut di Jepang, masih berasal dari penangkapan. Berkat itulah orang-orang China bisa membeli makanan laut murah setiap hari.

Kini kita ke Nanxun. Ini adalah dataran banjir di sepanjang Sungai Yangtze, Danau Taihu, dan Sungai Qiantang. Sumber daya air tawar yang melimpah telah membawa banyak nutrisi ke hulu sungai, membuat daerah ini menjadi lahan penghasil ikan dan beras untuk 100an juta orang.

Inilah satu daerah dengan kepadatan populasi tertinggi di China. Mirip dengan dataran banjir Bangladesh, Benggala Barat, dan Saigon.

Tinimbang dataran banjir padat lainnya, orang China memilih memproduksi pertanian air yang bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Di sini ada jutaan kolam ikan dan banyak pohon murbei ditanam di sekitarnya—untuk memelihara ulat sutra.

Selama 2000 tahun, orang China di daerah ini telah mengembangkan banyak ekosistem pertanian yang sangat kompleks dan berkelanjutan.

Siklus lingkungan yang paling terkenal adalah ikan-pohon sutra murbei. Para petani China telah mengeksploitasi ekosistem ikan, budidaya sutra selama dua alaf, tanpa mengetahui konsep "pembangunan berkelanjutan". Saat ini, hal itu berevolusi menjadi beberapa siklus "daur ulang" di tanah yang sama.

Guna memelihara lebih banyak ikan di kolam, mereka menggunakan aerator yang memompa udara ke dalam air—bertenaga surya. Teknik berkelanjutan kolam fotovoltaik ini disediakan para profesional dari pemerintah China setempat.

Dari titik ini, kita dapat memahami mengapa China dapat menghasilkan 84 persen sutra dunia, 66 persen ikan air tawar, dan tenaga surya menyumbang 25,8 persen dari total global. Di daerah pedesaan Zhejiang dan Jiangsu, orang makan ikan hampir setiap hari. Itulah rahasia kecerdasan otak mereka.

Siklus lingkungan kedua adalah budidaya akar teratai-ikan. Di beberapa kolam ikan, terdapat tananam sayuran secara bersamaan, dan yang paling umum adalah akar teratai. Produksi akar lotus tahunan China mencapai 11 juta ton. Menyumbang 90 persen dari total produksi dunia, dan 60 persen dari ekspor dunia. Siklus ekologis ketiga adalah minyak kanola-ikan, madu, dan kepiting.

Mereka juga menumbuhkan bunga rape (penghasil minyak rape/kanola) menggunakan prinsip yang sama.

Alih-alih menggunakan pupuk, saat musim dingin, para petani China menggali "lumpur nutrisi" dari dasar air dan menumpuknya di tepi sungai. Kemudian mereka menanam rape, atau taros di atas lumpur.

Setelah ribuan tahun budidaya berkelanjutan, lahan tersebut menjadi seperti pulau-pulau kecil berwarna hijau muda. Terletak di Duotian, Provinsi Jiangsu. Seperti di Bajo dan sekelumit wilayah Borneo, tidak ada jalan di sini. Anda harus naik perahu untuk melintasinya.

Karena ekosistem ini, China telah menjadi produsen minyak lobak nomor satu di dunia, dengan menyumbang produksi 22 persen dari total global.

Belum lagi industri peternakan lebah besar yang tumbuh subur di bunga-bunga rape China. Produksi madu mereka menopang 30 persen dari total yang dihasilkan dunia.

Faktanya, sepertiga dari madu yang dikonsumsi Amerika Serikat, datang langsung dari sini.

Selain madu, wilayah Duotian juga merupakan daerah penghasil kepiting berbulu yang terkenal di China. Harga jualnya sekitar 60 dollar AS per kilogram, yang hanya bisa dimakan oleh orang-orang berpenghasilan menengah.

Mari kita ke Shouguang, Provinsi Shandong. Di sini dapat ditemukan jutaan gubuk "berkelip" di dataran. Itulah rumah kaca sayur-mayur dan buah, untuk mengendalikan suhu dan kelembaban.

Di rumah kaca, mereka dapat menanam semua jenis sayuran dan buah berbeda, beberapa kali per tahun—terlepas dari pengaruh musim. Hasil panen mereka pun melonjak lebih tinggi daripada lahan pertanian tradisional.

Selain itu, petani juga diharuskan memasang sistem pemantauan IoT (internet of things) di rumah kaca.

Melalui pendidikan ulang dan pelatihan, petani belajar menggunakan ponsel untuk memantau parameter lingkungan internal rumah kaca, seperti konsentrasi karbon dioksida, intensitas cahaya, suhu tanah, dan sebagainya.

Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menunjukkan bahwa produksi dan konsumsi sayuran China sekitar 700 juta ton, yang merupakan 40 persen dari penghasilan total dunia.

Sebagian besar warga India adalah vegetarian, dan luas lahan yang ditanami lebih besar dari China, tetapi hasil nasional sayuran dan buah-buahan mereka hanya 180 juta ton.

Berkat rumah kaca, orang China dapat menikmati beragam jenis sayuran lebih murah dibanding penduduk negara lain di dunia—sepanjang tahun.

Pada dasarnya, China menempati peringkat teratas, hampir setiap jenis produksi sayuran nontropis.

Pemandangan serupa Shouguang, juga bisa ditemukan di Lhasa, Tibet. Daerah berkontur keras ini adalah penghasil sayur-mayur dan buah-buahan, terutama semangka. Fenomena ini merupakan hal baru bagi mereka, setelah sekian ratus tahun hanya bisa memakan daging yak, susu, keju, dan roti.

Di Kokdala, Xinjiang, yang berbatasan dengan Kazakhstan, ada cerita lain. Wilayah ini tergolong tandus.

Namun Pemerintah China melalui perusahaan negaranya, Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang, menyulap areal ini dengan teknologi irigasi tetes dari Israel.

Sebanyak 2,6 juta karyawan dan petani termasuk suku Uyghur, Han, dan Kazakh, ikut terlibat di dalamnya, untuk mengelola kebun tomat, cabai, melon, anggur, dan kapas.

Masih di Xinjiang, wilayah Hejing. Ada tanah yang sepenuhnya "merah" di tengah padang pasir. Itulah kebun miliaran tomat.

China menghasilkan 56,3 juta ton tomat dan mendominasi sepertiga kebutuhan dunia. Lebih dari 14 juta ton berasal dari Xinjiang.

Barangkali spageti Italia, kebab Turki, atau kecap yang ada di rumah Anda, berutang keringat pada para petani di sini.

Xingtai, di Hebei, merupakan keajaiban lain. Di sinilah sebagian besar tanaman China ditanam. Kota kecil tingkat keempat yang dihuni tujuh juta orang. Setiap desanya berisi sekitar 500 warga.

Wilayah yang lebih besar dihuni sekitar 10 ribu hingga 100 ribu pemukim. Di dataran tinggi Qingyang, Gansu, lahan seluas 640.000 km²--yang sebenarnya tidak cocok untuk menanam tanaman, kini telah beralih menjadi tanah subur.

Areal baru seolah muncul seperti "akar." Semua bukit diubah menjadi teras pertanian dan perhutanan.

Selain berhasil memanfaatkan teknologi, seperti penyulingan air laut untuk menanam padi, China mampu menyediakan makanan yang berlebih bagi 1,4 miliar rakyatnya.

Pelbagai makanan ditawarkan di meja makan mereka. Jauh lebih beragam dan murah dibanding tempat paling maju di muka bumi.

Setelah tulisan yang lumayan panjang ini, kami harap bangsa Indonesia belajar sesuatu yang lain tentang mereka, dan tahu harus bagaimana menghadapi tantangan zaman yang sudah dibentangkan di depan mata.

https://money.kompas.com/read/2020/05/23/192000126/peradaban-manusia-seabad-mendatang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke