Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Berat Dunia Penerbangan Sipil Komersial di Indonesia

Perkembangan dari pertumbuhan penumpang setiap tahunnya berada dalam grafik yang menanjak sangat mencengangkan. Beberapa catatan menunjukkan bahwa pertumbuhan penumpang pada beberapa tahun sempat mencapai 10 sampai dengan 15 persen per annum.

Pergerakan harga tiket pesawat terbang, sejak tahun 2000-an, terus menunjukkan grafik yang menurun dan disambut dengan riang gembira oleh banyak orang. Para pengguna jasa angkutan darat dan laut langsung hijrah menggunakan moda angkutan udara yang tidak hanya cepat , aman, nyaman dan tepat waktu, akan tetapi juga relatif “aman” dan “murah”.

Murahnya tiket pesawat terbang telah membuat pertumbuhan penumpang demikian tinggi, akibat dari antusiasme banyak orang yang berpindah ke moda angkutan udara. Banyaknya kecelakaan yang terjadi, turunnya tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia pada skala Internasional selama lebih kurang 10 tahun (2007 sd 2017), tidak banyak berpengaruh.

Kesemua itu terlihat dari bagaimana tumpahan penumpang di Cengkareng yang langsung saja dialirkan ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Demikian pula yang terjadi pada beberapa Pangkalan Angkatan Udara di daerah-daerah seperti Jogyakarta, Bandung dan Malang. Pemerintah bahkan bergerak cepat membangun Bandara baru di Jogyakarta dan di Kertajati serta beberapa lainnya di berbagai tempat.

Tentu saja hal tersebut adalah sebagai respons dari telah “ramai dan padatnya” beberapa Bandara yang sudah terlihat serupa dengan terminal Bus atau Stasiun Kereta Api. Sebaliknya Stasiun-stasiun Kereta Api, terutama Stasiun KA Gambir dan Senen justru telah menjadi tertib dan relatif “sepi” penumpang.

Kepadatan air traffic yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat dari pertumbuhan penumpang yang spektakuler telah memunculkan ide untuk menggeser daerah latihan Angkatan Udara ke kawasan selatan pulau Jawa. Ide muncul, karena lama waktu pesawat di darat untuk antri take off dan landing telah menjadi keluhan banyak penumpang, di jam sibuk pada beberapa Bandara terutama di Cengkareng.

Menjelang akhir 2018 dan awal tahun 2019, mendadak sontak muncul keributan baru dalam dunia penerbangan kita yang mengeluhkan kenaikan harga tiket yang dinilai sebagai tidak masuk akal. Beberapa tiket untuk rute domestik justru lebih mahal dari tiket untuk tujuan ke luar negeri.

Muncullah banyak seminar, pertemuan FGD dan aneka wawancara di radio dan televisi membahas tentang mahalnya harga tiket pesawat terbang rute domestik.

Tidak atau kurang disadari bahwa pada era tiket murah, telah terjadi demikian banyak kecelakaan dan juga bubar dan bangkrutnya banyak Maskapai Penerbangan. Diikuti pula turunnya tingkat keselamatan penerbangan Indonesia dengan berbagai larangan terbang ke beberapa negara terutama Uni Eropa.

Era tiket murah juga telah memaksa pihak regulator mengeluarkan peraturan tentang harga tiket yang dikenal dengan peraturan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Sebuah regulasi yang merupakan refleksi dari betapa “parah” nya persaingan yang terjadi di lapangan dalam menentukan harga jual tiket yang murah berkait persaingan pada rute ‘gemuk”.

Pada tahun 2017 peringkat keselamatan penerbangan Indonesia telah berhasil kembali naik dan bahkan penilaian akhir menunjukkan bahwa Indonesia sudah melampaui atau mencapai nilai yang above global average.

Seiring dengan itu jumlah Maskapai Penerbangan telah banyak menyusut jumlahnya sebagai akibat dari persaingan sangat ketat yang terjadi. Sementara itu beberapa Bandara baru sudah mulai diresmikan penggunaannya.

Akhir tahun 2018 kurs dollar merangkak naik dan harga avtur melonjak, sehingga tidak dapat dihindarkan lagi membuat harga tiket penerbangan domestik melonjak tajam. Maka bermunculanlah tuduhan-tuduhan kongkalikong, kartel, duopoli dan sebagainya terhadap Maskapai Penerbangan yang memang jumlahnya sudah mengerucut tinggal sedikit.

Sebenarnya sangat mudah dicermati bahwa kenaikan harga tiket ketika itu adalah berhubungan dengan beberapa hal yang berkembang. Tingkat keselamatan penerbangan yang meningkat adalah hasil dari peningkatan kinerja regulator dalam hal , antara lain pengawasan yang diperketat.

Pengawasan yang ketat, tentu saja akan “mengganggu” ruang gerak operator untuk tidak sembarangan dalam menyelenggarakan operasi penerbangan yang harus sesuai aturan tanpa kompromi. Akibatnya “celah” untuk dapat bermain dalam pengelolaan operasi penerbangan menjadi tertutup, dan ini adalah bagian dari “operating cost” yang tidak lagi bisa “dihemat”.

Dengan menurunnya jumlah Maskapai yang beroperasi maka persaingan dalam memperebutkan rute gemuk dengan antara lain menurunkan harga menjadi tidak lagi relevan.

Ditambah lagi dengan melonjaknya kurs dollar AS dan kenaikan harga avtur, dipastikan tidak lagi mungkin Maskapai dapat menjual tiket dengan harga murah, seperti diwaktu sebelumnya.

Nah, di tengah kesulitan Maskapai Penerbangan dalam upaya menyesuaikan harga tiket yang dinilai terlalu mahal, awal tahun 2020 muncul pendatang baru bernama Covid-19. Dapat dibayangkan, dengan pola jaga jarak, pakai masker dan sering cuci tangan bagaimana bisa mencari celah untuk menurunkan harga tiket.

Ketika pada awalnya ditentukan bahwa hanya di perkenankan membawa penumpang maksimum 50 persen, pasti tidak akan ada Maskapai yang sanggup untuk melaksanakannya. Pembatasan hingga 70 persen pun untuk rute tertentu akan menyulitkan Maskapai untuk dapat meraih keuntungan.

Kabar terakhir dari banyak diskusi di forum internasional tentang dunia penerbangan sipil komersial, para ahli sampai kepada kesimpulan bahwa dibutuhkan setidaknya 5 tahun bagi dunia penerbangan untuk dapat menyesuaikan diri untuk pulih kembali.

Hampir semua protokol kesehatan Covid -19 sangat bertentangan dengan kiat dan strategi untuk bisa memperoleh keuntungan pada penyelenggaraan transportasi udara dalam perspektif bisnis.

Setidaknya protokol kesehatan yang wajib, di tengah pandemi Covid -19 dipastikan akan meningkatkan atau menambah biaya operasi penerbangan. Tidak saja menjadi berat bagi Maskapai Penerbangan , akan tetapi juga dalam pengelolaan bandara misalnya, yang pada akhirnya menjadi beban penumpang juga, berupa harga tiket yang mahal.

Lebih jauh lagi, protokol kesehatan Covid-19 telah menurunkan gairah dan minat banyak orang untuk bepergian menggunakan pesawat terbang. Terbang, dinilai akan sangat berisiko karena berpotensi menularkan Covid-19 dalam ruang udara kabin yang sangat sempit dan terbatas itu. Tidak itu saja, siapa mau membuang waktu antri berjam-jam di Bandara, dalam memenuhi prosedur protokol Covid-19 untuk bepergian yang jarak tempuhnya hanya 1 atau 2 jam terbang misalnya.

Harapan untuk memperoleh kembali harga tiket murah menjadi sirna dan bahkan banyak diramalkan ke depan, harga tiket pesawat akan menjadi jauh lebih mahal lagi.

Sebuah Tantangan berat bagi dunia penerbangan sipil komersial di dunia dan tentu saja termasuk di Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2020/06/26/123700826/tantangan-berat-dunia-penerbangan-sipil-komersial-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke