Ketika menjabat sebagai direktur utama PT Inalum (Persero), Budi mengaku baru mengetahui, perusahaan yang bergerak di sektor tambang kerap melakukan ekspor barang mentah dengan harga yang rendah.
Kemudian, perseroan melakukan impor barang jadi yang berasal dari barang mentah tadi, dengan harga jauh lebih tinggi.
Budi mencotohkan, Inalum kerap mengekspor bauksit dengan harga kisaran 30 dollar AS per ton. Kemudian, perseroan mengimpor alumina yang merupakan produk hasil bauksit, seharga 400 dollar AS per ton.
"3 ton bauksit jadi 1 ton alumina. Alumina kita impor 400 dolar AS per ton. Jadi kalau 3 dikali 30 kan 90 (dollar AS) kita ekspor, impornya 400 (dollar AS), 4 kali lipat," katanya dalam acara Penandatanganan Kerja Sama PT Pertamina (Persero) dengan Perusahaan Galangan Kapal BUMN, Selasa (14/7/2020).
Kebiasaan BUMN tersebut semakin memperkeruh kondisi neraca dagang RI.
"Jadi kenapa current account-nya negatif? Ya karena memang itu ekspornya murah impornya mahal," kata Budi.
Budi menilai, seharusnya Inalum mampu memproduksi alumina. Sebab, bahan baku yang dibutuhkan juga berasal dari dalam negeri.
Oleh karenanya, saat ini Budi mendorong seluruh BUMN untuk mengurangi belanja yang berasal dari luar negeri.
Ia ingin, BUMN saling bersinergi, sehingga uang belanja tidak lagi ke luar negeri.
"Nah kebetulan dengan adanya Covid ini kita ingin memastikan bahwa perputaran roda ekonomi ini terjadi di Indonesia," ucap Budi.
https://money.kompas.com/read/2020/07/15/054400326/kebiasaan-bumn-yang-buat-neraca-dagang-ri-tekor