Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Polemik Ekspor Benih Lobster hingga Mundurnya Dirjen Perikanan Tangkap KKP

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik ekspor benih lobster belum kunjung usai sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka keran penangkapan benih lobster untuk dibudidaya maupun diekspor.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020, yang mengganti aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2020.

Dalam tiap kesempatan Edhy berkali-kali menyatakan eskpor benur merupakan caranya menyejahterakan nelayan kecil yang bergantung hidup dari menangkap benur.

"Kalau ditanya berdasarkan apa kami memutuskan? Nilai historis kemanusiaan karena rakyat butuh makan. Tapi berdasarkan ilmiah, juga ada. Kalau ditanya dulu penelitian seperti apa? Dulu tidak ada. ini ada Dirjen-dirjennya, belum berubah orang-orangnya," kata Edhy pada Senin (6/7/2020).

Berdasarkan kajian akademik yang dipaparkan Edhy, benih lobster hanya bisa hidup 0,02 persen jika dibiarkan hidup di alam. Artinya dari 20.000 benih lobster, hanya sekitar 1 ekor lobster yang tumbuh hingga dewasa.

Sementara jika dibudidaya, angka hidup lobster bisa melonjak jadi 30 persen, 40 persen, bahkan 70-80 persen tergantung jenis budidayanya.

Terkait eksploitasi yang banyak dikhawatirkan, Edhy yakin tidak akan terjadi eksploitasi berlebihan. Sebab setiap eksportir diwajibkan untuk menaruh kembali sekitar 2 persennya yang siap hidup.

Perusahaan pun diatur untuk membeli benih lobster seharga Rp 5.000 per ekor dari nelayan. Bila harganya lebih rendah dari itu, Edhy tak segan-segan mencabut izinnya.

"Kontrolnya sangat mudah, semua terdata. Di mana tempatnya, posisinya, dimana berusahanya. Yang kami wajibkan pertama kali bukan ekspor benihnya, Ekspor pada waktunya akan dihentikan begitu budidaya kita sudah mampu," papar Edhy.

Untuk menjadi eksportir, ada sederet syarat yang harus dipenuhi. Mulai dari kemampuan berbudidaya hingga komitmen menggandeng nelayan dalam menjalankan usaha budidaya lobster.


"Prioritas pertama itu budidaya, kita ajak siapa saja, mau koperasi, korporasi, perorangan silahkan, yang penting ada aturannya. Pertama harus punya kemampuan berbudidaya. Jangan tergiur hanya karena ekspor mudah untungnya banyak. Enggak bisa," seru Edhy.

Lemahkan semangat budidaya

Namun, menurut nelayan lobster asal Lombok Timur, Amin Abdullah menyatakan, Peraturan Menteri KP Nomor 12/2020 yang mengakomodir ekspor dan budidaya hanyalah kamuflase.

Menurutnya, Permen ini lebih menitikberatkan pada ekspor benur alih-alih budidaya. Hal itu terlihat dari adanya beberapa eksportir yang sudah lenggang mengekspor benur padahal belum ada realisasi budidaya.

Pasalnya menurut Juknis yang diterbitkan KKP, calon eksportir boleh mengekspor benur jika eksportir melakukan kegiatan budidaya dan sudah panen berkelanjutan. Eksportir juga harus melepas hasilnya sebanyak 2 persen.

"Pertanyaan kita adalah, sejak Mei sampai hari ini (peraturan diterbitkan) baru 1 bulan, sementara kegiatan budidaya pengalaman kami di Lombok, butuh 8-12 bulan. Itu baru menghasilkan 150-200 gram. Darimana ini kok bisa teman-teman eksportir ekspor benih sementara Permen berbunyi seperti itu?," tanya Amin dalam diskusi daring, Jumat (10/7/2020).

Sikut-sikutan

Dibukanya keran ekspor benih lobster ini membuat para eksportir benih lobster alias benur bersikut-sikmerekrut nelayan.

Mereka kerap meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) nelayan untuk didaftarkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sehingga para calon eksportir ini mendapat jatah ekspor benur.

Sebab salah satu ketentuan diizinkannya ekspor adalah mengajak kerja sama nelayan tradisional.

"Saya sampaikan fakta di lapangan, semua perusahaan ini, turun ke lapangan untuk mendata nelayan, mencari KTP nelayan dalam rangka mencari kuota untuk dapat ekspor benih," tutur Amin.

Amin menuturkan, para nelayan tersebut tidak mengerti mengurus izin untuk menjadi penangkap benur. Kebanyakan yang mengerti adalah orang-orang yang di "darat", alias bukan yang bekerja langsung di laut.

Hal ini kemudian dimanfaatkan para calon eksportir untuk mendaftarkan para nelayan.

"Yang terjadi ke depan adalah akan terjadi konflik saya lihatnya. Bahwa "Oh, saya dari gunung punya izin menangkap benih. Kamu enggak boleh karena enggak punya izin,". Itu yang terjadi. Menurut saya sih untuk apa ada izin hari ini? Yang penting untuk diawasi ketat ini adalah perusahaanya," ujar Amin.

Dikuasai pengusaha besar

Selama polemik berlangsung, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti lantang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap menteri yang menggantikan Susi.

Susi kerap khawatir ekspor benih lobster rentan dikuasai dan dikomersialisasi oleh pengusaha besar. Pengusaha besar umumnya memperkerjakan nelayan kecil untuk menangkap benih lobster.


Setelah berhasil menangkap, para nelayan kecil itu menjualnya ke pengusaha besar dengan harga murah. Pengusaha besar tersebut memiliki akses yang lebih baik untuk mengirimkannya ke luar negeri.

"Dia (nelayan) ambil bibitnya, dia perjualbelikan ke pengusaha yang punya akses untuk kirim bibit lobster ke Vietnam untuk dibesarkan. Perdagangan lintas negara kan harus lewat border, memerlukan kapal, memerlukan sarana prasarana yang tidak bisa orang kecil lakukan," papar Susi beberapa waktu lalu.

Ada sosok partai

Selain dianggap berpihak pada pengusaha, konflik makin diperpanas dengan masuknya sosok-sosok partai politik di daftar calon eksportir. Gerindra menjadi yang paling disorot karena merupakan partai yang mengusung Edhy Prabowo. 

Dalam daftar, ditemukan juga nama mantan penyelundup zaman Susi Pudjiastuti yang diizinkan mengekspor benur.

Informasi saja, KKP telah memverifikasi data 31 perusahaan calon eksportir benih lobster per awal Juli 2020.

Bila calon eksportir sudah memenuhi syarat, seperti menggandeng nelayan lokal dan membudidayakan hasil tangkapannya, praktis ekspor benur boleh dilakukan.

Menanggapi hal itu, Edhy mengaku siap dikritik karena adanya keterlibatan beberapa kader Gerindra. Kendati demikian, Edhy menampik isu bahwa dia yang menentukan kader partai naungannya itu sebagai eksportir.

Lagipula katanya, dari 26 perusahaan yang namanya sudah tereskpos, hanya ada beberapa nama kader Gerindra yang dikenalnya.

"Kalau memang ada yang menilai ada orang Gerindra, kebetulan saya orang gerindra, tidak masalah. Saya siap dikritik tentang itu. Tapi coba hitung berapa yang diceritakan itu? Mungkin tidak lebih dari 5 orang atau 2 orang yang saya kenal. Sisanya 26 orang (perusahaan) itu, semua orang Indonesia," sanggah Edhy.

Edhy bilang, surat perintah pemberian izin eksportir bukan ada di tangannya. Surat perintah diterbitkan oleh tim, yang terdiri dari Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen Budidaya, dan BKIPM.

Tim juga melibatkan Inspektorat Jenderal dan diawasi oleh Sekretaris Jenderal. Selama tim tidak mengikuti kaidah, Edhy menegaskan tak segan-segan mencabut izinnya.

Dia menyatakan, 31 calon eksportir yang datanya telah diverifikasi bukanlah mendapat hak privilage untuk menangkap benih lobster. Siapapun boleh mengajukan izin, baik dari perusahaan maupun perorangan.

Mereka yang telah terverifikasi, bakal menjadi eksportir selama bisa memenuhi syarat yang telah ditentukan. Salah satu syaratnya adalah memiliki kemampuan budidaya dan melepaskan 2 persen lobster ke asal.

"Yang memutuskan juga bukan saya. (Tapi) tim. Tapi ingat, tim juga saya kontrol agar mengikuti kaidah," papar Edhy.

Dirjen Mundur

Selang beberapa bulan aturan diresmikan, Direktur Jenderal yang berurusan langsung dengan ekspor benur, yakni Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar mengundurkan diri dari jabatannya.

Dalam direktorat yang dia pimpin, isu soal ekspor benur dan penggunaan alat tangkap ikan yang diizinkan maupun dilarang berada dalam kewenangannya langsung di bawah Menteri Edhy.


Direktorat yang bersangkutan telah menerbitkan Keputusan DJPT Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pengelolaan Benih Bening Lobster (Puerulus) di Wilayah WPP-NRI.

Adapun surat pengunduran diri diberikan Zulficar kepada Menteri KKP Edhy Prabowo sejak Selasa, (14/7/2020).

Zulficar tak menjelaskan alasannya mundur dari jabatan. Namun dia mengaku telah menjelaskan alasan-alasan prinsipnya kepada Menteri Edhy.

Sebagai penutup, Zulficar meminta maaf kepada semua pihak atas keputusan yang mendadak dan kesalahannya selama ini.

Namun menurut Kepala Biro Humas & KLN KKP, Agung Tri Prasetyo, Zulficar diberhentikan tugasnya karena merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Dalam pasal 106 beleid menyebutkan, Jabatan Tinggi Utama dan Jabatan Tinggi Madya tertentu tidak dapat diisi dari kalangan non-PNS untuk bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lain yang ditetapkan Presiden.

"Maka sejak Senin (13/7/2020), Zulficar Mochtar diberhentikan dari jabatan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP," kata Agung.

Diberhentikannya Zulficar membuat Menteri Edhy pada hari yang sama mengusulkan kepada Presiden untuk pengisian jabatan JPT Madya Direktur Jenderal Perikanan sesuai ketentuan yang berlaku.

"Tujuannya jelas agar pejabat pengganti segera ada dan menjadi bagian team work KKP melayani stakeholders kelautan dan perikanan," papar Agung.

Namun sebetulnya dalam pasal 106, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang Jabatan Tinggi Utama dan Jabatan Tinggi Madya bisa diisi oleh kalangan non-PNS.

Di ayat (1) beleid disebutkan, JPT utama dan JPT madya tertentu dapat diisi dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.

Dalam ayat (2), JPT utama dan JPT madya tertentu di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam tidak dapat diisi dari kalangan non-PNS.

Ketentuan di ayat (2) tersebut dalam dikecualikan dalam ayat (3) sepanjang mendapat persetujuan dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri, Kepala BKN, dan Menteri Keuangan. 

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai JPT utama dan JPT madya tertentu yang dapat diisi dari kalangan non-PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

https://money.kompas.com/read/2020/07/17/075444426/polemik-ekspor-benih-lobster-hingga-mundurnya-dirjen-perikanan-tangkap-kkp

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke