Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membayar Pajak , Benci Tapi Rindu

Kita tidak bisa pergi kemana-mana. Bukan lockdown disebabkan pandemi, tapi karena tidak bisa keluar rumah yang disebabkan tidak tersedianya fasilitas umum seperti jalan raya, taman, lampu jalan, perangkat lalu lintas dan fasilitas umum lainnya.

Belum lagi faktor keamanan yang tidak menentu. Barangkali tanpa pajak, hanya orang kaya yang bisa keluar rumah karena mampu membayar untuk penggunaan jalan, membayar petugas keamanan dan fasilitas lainnya.

Semua fasilitas umum yang selama ini kita nikmati dan tidak banyak kita sadari tersebut dibangun negara dari pajak yang dibayarkan masyarakat.

Bagi sebagian orang, mendengar kata “pajak” mungkin langsung terbayang uang hasil jerih payah dari berusaha atau bekerja yang harus disetorkan ke negara.

Terbayang harga yang lebih mahal karena adanya pajak yang harus dibayarkan pada barang tertentu. Atau ada juga yang terbayang adanya perubahan dalam pelayanan publik yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak. Setiap warga negara pasti punya pengalaman yang berbeda mengenai persepsi kata pajak.

Benci Tapi Rindu

Terlepas dari semua rasa yang ada, para pendiri bangsa ini sudah menyadari tentang pentingnya pajak sebagai sumber penerimaan negara yang digunakan untuk pembangunan.

Bahkan tanggal 14 Juli 1945, pada saat Badan penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membuat Rancangan Undang-Undang Dasar negara Indonesia, kata “pajak” dituangkan dalam Rancangan UUD Kedua, Bab VII Hal Keuangan pada Pasal 23 butir kedua yaitu: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang.”

Berdasarkan peristiwa penting tersebut, sejak tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak mencanangkan tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

Menyimak perjalanan dari waktu ke waktu, pajak sebagai bagian dari penerimaan negara seperti layaknya judul sebuah lagu; Benci Tapi Rindu.

Secara naluri, tentu tidak ada seorangpun yang mau penghasilannya dipotong atau dipungut pajak. Atau kalau membeli barang tertentu, tidak rela bila dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang akan menambah harga yang akan dibayarkan. Dia dibenci banyak orang.

Di sisi lain, dia dirindukan karena proporsi perpajakan dalam pendapatan negara adalah bagian yang terbesar selama tiga dekade terakhir. Bayangkan utang negara yang selama ini dianggap sangat besar, secara kasat mata akan semakin besar bila selama ini tidak ada penerimaan negara dari pajak.

Ketika belanja negara tidak bisa dibayar dari penerimaan negara, maka akan terjadi defisit yang kemudian dibiayai melalui pembiayaan/utang. Pajak menjadi andalan utama pemerintah dalam mengelola keuangan negara di APBN.

Namun bila dilihat dari tingkat kepatuhan Wajib Pajak, dapat dikatakan kepatuhannya masih rendah. Menurut pernyataan Menteri Keuangan kepada media pada 10 Juli 2020, realisasi penerimaan pajak hingga akhir juni 2020 tercatat senilai Rp 531,7 triliun. Angka ini baru mencapai atau 44,4 persen, terhadap target sebesar Rp 1.198,8 triliun dari APBN 2020 sesuai Perpres 72 tahun 2020.

Belum Optimal

Terlihat bahwa walaupun target penerimaan pajak sudah diturunkan karena adanya pandemic, namun pajak yang dibayarkan masyarakat masih belum optimal. Begitu pula dari kepatuhan pelaporan pajak.

Berdasarkan data yang ada, dari total 46 juta Wajib Pajak (WP) yang terdaftar, terdapat 19 juta WP yang wajib menyampaikan SPT tahunan. Namun pada tahun 2020 ini yang menyampaikan SPT Tahunan hanya 11,47 juta WP atau 60,36 persen.

Tingkat kepatuhan ini bahkan menurun dari tahun sebelumnya yang 73,06 persen. Padahal ini barulah dari kepatuhan formal, belum dari sisi materinya. Bisa saja dari WP yang menyampaikan SPT Tahunan, menghitung pajaknya tidak benar atau membayar pajaknya tidak benar. Untuk itu diperlukan pengujian kepatuhan dari pelaporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

Untuk menguji kepatuhan data Wajib Pajak tersebut, Ditjen Pajak sebagai pengelola penerimaan negara dari sektor perpajakan tidak bisa bekerja sendiri. Kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak sangat diperlukan. Misalnya saja dengan Kemendagri untuk data kependudukan, dengan Kepolisian RI untuk data pemilik kendaraan, dengan PLN untuk data penggunaan listrik WP dan lain sebagainya.

Selain pengawasan kepada WP, Ditjen Pajak juga perlu terus menerus melakukan edukasi dan penyuluhan mengenai perpajakan. Ini juga memerlukan pihak ketiga dalam pelaksanaannya.

Dengan jumlah pegawai sekitar 45.000pegawai, adalah sangat sulit untuk dapat menyentuh seluruh WP yang jumlahnya 46 juta.

Perlu Kerja Sama

Untuk itu, perlu dilakukan kerja sama dengan asosiasi, komunitas, perkumpulan, konsultan pajak dan berbagai kumpulan lainnya yang dapat menjadi mkitra kerja dalam melakukan edukasi.

Semua usaha untuk mengumpulkan penerimaan pajak perlu dilakukan dengan gotong royong. Baik gotong royong dalam membayar pajak untuk kepentingan bangsa, juga gotong royong untuk membantu negara dalam mengelola data dan gotong royong untuk mengedukasi Wajib Pajak. Hal ini, sesuai dengan tema Hari Pajak pada tahun 2020 ini: “Bangkit Bersama Pajak

Dengan Semangat Gotong Royong”. Menghadapi kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, semangat gotong royong perlu dibangun agar kita semua terhindar dari resesi ekonomi.

https://money.kompas.com/read/2020/07/17/172925326/membayar-pajak-benci-tapi-rindu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke