Sebagaimana diketahui, pada tahun 2025 mendatang, pemerintah menargetkan capaian EBT dalam porsi bauran EBT bisa mencapai 23 persen energi nasional.
Namun, dengan kondisi yang ada saat ini, diproyeksi akan terjadi kesenjangan atau gap antara realisasi dengan target tersebut. Pasalnya, tanpa adanya usaha yang lebih, pertumbuhan bauran EBT akan stagnan di kisaran 500 mega watt (MW) per tahun.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mengatakan, dengan pertumbuhan yang stagnan tersebut, bauran EBT pada tahun 2025 diproyeksi hanya akan mencapai 12.800 MW. Padahal, dengan target bauran sebesar 23 persen, maka kapasitas EBT pada tahun 2025 seharusnya sebesar 20.000 MW.
Dengan demikian, apabila tidak ada upaya lebih yang dilakukan pemerintah, maka akan terjadi gap antara realisasi dan target bauran EBT sebesar 7.200 MW.
Potensi EBT
Sutjiastoto menyebutkan, potensi EBT nasional mencapai 442 giga watt (GW). Namun, sampai dengan saat ini yang terealisasikan baru mencapai 10,4 GW atau setara 2,4 persen.
Menurutnya, minimnya fasilitas atau insentif terhadap pelaku usaha menjadi alasan utama pengembangan EBT cenderung lambat. Aturan yang saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM, dinilai belum cukup menstimulus lahirnya kontrak-kontrak EBT yang baru.
"Jika hanya mengandalkan Permen saja, maka kontrak-kontrak EBT akan sangat terbatas seperti yang terjadi saat ini," katanya.
Selain itu, belum optimalnya pasar EBT nasional terefleksikan dengan masih tingginya harga jual produk energi ramah lingkungan, seperti panel surya atau solar panel.
Saat ini, solar panel di Indonesia dijual dengan harga rata-rata 1 dollar AS per watt peak (WP). Harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain, seperti China yang hanya sebesar RP 20 sen per WP.
Mahalnya harga jual solar panel diakibatkan masih minimnya kapasitas pabrikan nasional. Dengan demikian, pabrikan solar panel masih perlu mengimpor bahan baku, sel surya atau solar cell, dengan jumlah yang rendah.
"Sudah impornya ketengan, pengolahannya kecil-kecil, akibatnya itu harganya masih cukup tinggi. Di China pabrikan itu kapasitasnya bisa 500 MW, bahkan 1.000 MW. Di kita masih 40 MW," tutur Sutjiastoto.
Pentingnya Perpres EBT
Oleh karenanya, keberadaan Perpres terkait harga listrik EBT dinilai menjadi penting untuk menggenjot realisasi bauran energi ramah lingkungan.
Selain mengatur harga EBT, Perpres tersebut juga akan memberikan insentif kepada pelaku usaha, sebagai salah satu bentuk stimulus dari pemerintah.
"Fasilitas ini diharapkan mendukung pendanaan bagi dunia usaha mereka," kata Sutjiastoto.
Berbagai insentif untuk pelaku usaha EBT tengah digodok oleh Kementerian ESDM. Salah satu contoh insentif yang akan diberikan ialah, pembayaran biaya eksplorasi panas bumi.
"Ini supaya bisa jalan, pemerintah kasih insentif. Supaya harganya turun, misalnya panas bumi, biaya eksplorasi dikompensasi pemerintah," katanya.
Sementara itu, Direktur Energi Aneka EBT Kementerian ESDM, Harris, mengatakan, nantinya penentuan harga yang tercantum dalam Perpres EBT akan dibagi menjadi tiga skema.
"Yaitu, harga Feed in Tariff, Harga Patokan Tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan," katanya.
Melalui Perpres tersebut, Kementerian ESDM berharap mampu menjadi jawaban atas berbagai masalah pengembangan EBT saat ini. Dengan masifnya pemanfaatan EBT, akan berimbas kepada penciptaan nilai-nilai ekonomi baru serta banyak memberikan manfaat, seperti menghasilkan energi bersih, menciptakan harga listrik terjangkau, dan juga meningkatkan invastasi nasional atau daerah.
https://money.kompas.com/read/2020/07/29/091539626/menggenjot-bauran-energi-ramah-lingkungan