Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Air Diplomacy" dan "Ban" Uni Eropa

Dari sinilah maka kemudian muncul terminologi turunannya yang dikenal sebagai atau dengan istilah “Air Diplomacy”.

Dari beberapa definisi tentang Air Diplomacy, maka intisarinya dapat disimpulkan bahwa Air Diplomacy adalah implementasi penggunaan aset “air and space” atau National Air Power sebagai penunjang kebijakan luar negeri. Termasuk didalamnya tentu saja mengenai penerbangan sipil. (kutipan salah satu jurnal Air University).

Demikianlah sejak perang dunia kedua berakhir, maka negara-negara besar yang memiliki kekuatan udara yang canggih disadari atau tidak telah menerapkan atau mengimplementasikan Air Diplomacy dalam menjalankan kebijakan luar negerinya.

Sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang menghentikan perang dunia ke 2, maka peranan Air Power sebuah negara menjadi sangat dominan dalam kebijakan yang berkait dalam hubungan antar negara.

Dapat dipastikan negara yang memiliki kekuatan udara yang unggul akan dengan mudah memaksakan kehendaknya, karena kebijakan luar negerinya ditopang oleh kekuatan senjata terutama senjata udara.

Contoh yang sangat menonjol adalah ketika AS menyerang dan meluluhlantakkan Saddam Hussein, walaupun tidak ada bukti kuat tentang adanya senjata pemusnah massal sebagai alasan.

Demikian pula kekuatan udara Israel yang telah menopang kokohnya eksistensi negara kecil itu di tengah negara-negara Arab yang menjadi musuhnya.

Pada tahun 2007, menyusul begitu banyak terjadi kecelakaan pesawat terbang di tanah air, maka Indonesia dimasukkan ke kelompok negara kategori 2 penilaian FAA (Federal Aviation Administration) otoritas penerbangan Amerika Serikat yang sangat berpengaruh dalam manajemen penerbangan sipil global.

Penyebabnya adalah mengacu kepada lebih dari 120 temuan audit ICAO (International Civil Aviation Organization) yang menyatakan Indonesia tidak memenuhi persyaratan International Civil Aviation Safety Regulation.

Indonesia dinyatakan tidak comply terhadap demikian banyak item pada regulasi keselamatan penerbangan internasional. Salah satu diantaranya adalah kurangnya jumlah inspektor Penerbangan dan rendahnya “take home pay” dari para inspektor tersebut.

Ketika saya sebagai Ketua Timnas EKKT (Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi) menyelesaikan tugas dan melapor langsung kepada Presiden, beliau segera memperpanjang masa tugas EKKT dengan fokus pada tugas menyelesaikan persoalan Ban Uni Eropa.

Ban UE adalah tindakan otoritas penerbangan UE yang melarang semua maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa. Larangan tersebut bersandar kepada temuan ICAO dan juga pada ketentuan FAA yang menggolongkan RI pada kelompok kategori 2, yaitu negara-negara yang tidak comply dengan standar keselamatan penerbangan internasional.

FAA menempatkan negara-negara anggota ICAO dalam 2 kategori yaitu kategori 1 adalah negara-negara yang memenuhi syarat keselamatan penerbangan internasional dan kategori 2 adalah negara yang tidak comply dengan regulasi keselamatan penerbangan ICAO.

Saya bersama tim kecil diutus pemerintah ke Brussel, markas besar otoritas penerbangan UE untuk dapat segera menyelesaikan Ban UE.

Dalam pertemuan di Brussel tersebut banyak hal dibicarakan yang pada intinya adalah bahwa Ban UE diberlakukan dengan alasan utama karena RI masuk kategori 2 penilaian FAA yang mengacu kepada temuan audit ICAO menyusul kecelakaan beruntun yang terjadi di tanah air ketika itu.

Tim kecil kami telah mengajukan beberapa keberatan yang dapat dipertimbangkan agar tindakan UE tersebut cukup fair. Beberapa di antaranya adalah bahwa tindakan ban UE hanya berlaku sepihak yaitu melarang maskapai penerbangan RI ke Eropa, sementara maskapai Eropa tetap masuk ke RI dengan bebasnya.

Saya sampaikan ketika itu, bahwa dengan pertimbangan bahwa otoritas penerbangan RI yang dinilai tidak mampu mengelola penerbangan sipil dengan derajat keamanan dan keselamatan berstandar internasional, maka maskapai penerbangan RI dianggap membahayakan bila terbang ke Eropa.

Saya tanyakan mengapa maskapai penerbangan Eropa tetap melakukan penerbangan ke Indonesia, negara yang dianggap tidak aman dan tidak memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan internasional.

Tidak diperoleh jawaban yang jelas atas pertanyaan ini. Sebuah tindakan yang tidak fair dan tidak mengacu kepada kaidah hubungan internasional dalam aspek “timbal balik” atau azas “reciprocal”. Dalam hal ini bisa saja RI membalas untuk juga melarang penerbangan maskapai UE masuk ke Indonesia. Tidak jelas juga mengapa ketika itu kita tidak melakukannya.

Berikutnya adalah dalam konteks Ban UE, maka otoritas penerbangan RI berhadapan dengan otoritas penerbangan UE yang terdiri dari lebih 27 negara anggota.

Dengan demikian dalam banyak pembicaraan maka hal yang RI bisa putuskan segera dan sendiri, sebaliknya UE harus memperoleh kesepakatan seluruh anggotanya untuk menyetujui atau tidak menyetujui topik yang dibicarakan. Sangat tidak fair.

Singkat kata, dalam pembicaraan yang cukup intens tersebut, maka ada juga kesepakatan tidak tertulis yang saya peroleh langsung dengan pimpinan otoritas penerbangan UE yaitu bahwa apabila RI telah berhasil keluar dari kategori 2 ke kategori 1 FAA, maka UE tidak mempunyai alasan lagi untuk melakukan larangan terhadap RI.

Hasil akhir pertemuan saya beserta tim memberikan beberapa catatan penting tentang keberatan RI terhadap Ban UE yang samasekali tidak fair karena diberlakukan sepihak.

Kesimpulan akhir adalah delegasi RI sepakat tentang Ban UE diberlakukan dengan alasan temuan ICAO yang mengakibatkan RI masuk dalam negara kategori 2.

Kita tidak bisa menolak hal tersebut, itu sebabnya saya tekankan saja bahwa apabila kita sudah kembali masuk kategori 1 maka UE tidak beralasan lagi untuk melakukan Ban terhadap RI. Hal ini jelas-jelas di setujui oleh pimpinan otoritas penerbangan UE ketika itu.

Bagi saya pribadi dan juga selaku pimpinan delegasi RI menyadari sepenuhnya, bahwa Ban UE ini memang persoalannya bukan di UE tetapi di Indonesia sendiri. Akan tetapi ketika itu saya sampaikan kepada pihak UE, bahwa kemungkinan besar RI akan memikirkan untuk “membantu” UE dalam upaya menjaga keselamatan warganya dengan menyarankan agar maskapai penerbangan UE tidak usah ke Indonesia dulu karena Indonesia “berbahaya” bagi keselamatan mereka. Hal ini merujuk kepada alasan UE dalam melarang Maskapai Penerbangan RI ke Eropa semata untuk menjaga keselamatan warganya.

Tidak ada pula respons yang jelas dari pihak UE dalam usulan saya tersebut.

Masih ada lagi, UE tetap menjual produk pesawat terbang Airbus ke Indonesia yang jelas-jelas mereka nilai sebagai negara yang “berbahaya”, sepatutnya mereka menghentikan penjualan Airbus ke Indonesia. Sekali lagi tidak fair, karena hanya bertindak sesuai keuntungan mereka semata.

Selesai pembicaraan di Brussel, saya pulang ke tanah air dan melaporkan ke Presiden melalui Menhub RI, bahwa urusan ban UE telah sangat jelas yaitu mari bereskan saja temuan ICAO yang menyebabkan RI masuk kategori 2. Selesai kita masuk ke kategori 1, saya akan dengan senang hati menagih janji kepada otoritas penerbangan UE untuk menghapus ban UE sesuai pembicaraan di Brussel.

Saya tidak berminat melakukan lagi pembicaraan apapun dengan pihak UE karena persoalannya sudah sangat jelas “loud and clear” bahwa masalahnya adalah berada pada otoritas penerbangan RI. Kerja keras selesaikan masalah yang dihadapi maka pasti ban UE segera akan selesai dengan sendirinya.

Sama sekali tidak ada masalah apapun yang harus dibicarakan atau dirundingkan lagi dengan pihak UE pada masalah ban yang diberlakukan. Itu adalah langkah terakhir saya dalam menjalankan upaya penyelesaian Ban UE.

Tidak begitu jelas perkembangannya kemudian, karena saya tidak lagi melibatkan diri dalam dan atau dilibatkan pada proses tersebut. Pada kenyataannya Indonesia harus bekerja keras selama hampir 10 tahun, yang pada pertengahan tahun 2016 akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh temuan ICAO tentang tidak comply nya RI terhadap regulasi keselamatan penerbangan internasional.

Dengan demikian maka RI masuk kembali k edalam kelompok negara kategori 1 penilaian FAA yang berarti pula telah memenuhi syarat International Aviation Safety Regulation, bahkan hasil audit ICAO terakhir menyatakan tingkat keselamatan penerbangan RI memperoleh nilai yang disebut sebagai “above global average”, di atas rata-rata dunia.

Yang sangat disayangkan dan juga tidak begitu jelas apa sebabnya adalah ban UE baru dicabut pada 2 tahun setelah itu yaitu di tahun 2018. Pada titik inilah, maka saya berkesimpulan sendiri bahwa kita memang berada dalam posisi yang harus belajar lebih banyak lagi tentang Air Diplomacy.

Belajar dari kasus Ban Uni Eropa yang sangat tidak fair, walau sebenarnya kita memiliki posisi tawar yang jauh lebih baik. Bukan masalah siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi kita sendiri yang mungkin saja kurang belajar hingga kurang paham, atau kurang lihai, atau mungkin juga kurang “berani”.

Fair atau adil memang tidak akan selalu identik dengan kesetaraan atau kesamaan, ada kata-kata menarik untuk ini dalam bahasa Inggris.

Equal is when everyone get the same thing, Fair is everyone getting what they need in order to be successful, we will always try to be fair but it will not always feel equal.

Itulah semua sekedar catatan saja, untuk dapat memetik lesson learned dari balada Ban UE yang tidak fair. Catatan bagi sebuah penerapan Air Diplomacy dalam percaturan air and space game di pentas global.

https://money.kompas.com/read/2020/09/02/150100026/-air-diplomacy-dan-ban-uni-eropa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke