SUDAH lebih dari enam bulan lamanya sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan secara resmi oleh Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, hingga kini belum ada sinyal-sinyal bahwa pandemi di Indonesia telah terkendali.
Berbagai prediksi dari para ahli tentang pandemi di Indonesia yang akan mereda menjelang akhir tahun, terpatahkan dengan sendirinya.
Tak ada seorang pun yang dapat menjawab kapan kondisi ini akan menemui titik terang. Kita seperti berjalan dalam lorong panjang yang gelap tanpa tahu di mana ujungnya.
Apakah ketika vaksin Sinovac dari China yang sedang diuji coba di Bandung dan memberikan hasil yang reliabel, dapat segera diproduksi dan vaksinisasi mulai dijalankan? Entahlah.
Daripada memikirkan vaksin yang belum dapat dipastikan efektifitasnya untuk mengendalikan pandemi, kehidupan harus terus dijalani.
Aspek ekonomi harus tetap diperhatikan, selain tentunya bidang kesehatan yang tetap memegang kunci pemulihan ekonomi nasional.
Kondisi UMKM
Survei LIPI mengenai UMKM pada Mei 2020 memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Dari 679 responden yang merupakan pelaku usaha, 94,69 persen mengaku usahanya mengalami penurunan penjualan.
Proporsi mereka yang biasa berjualan secara door-to-door 41 persen, toko fisik 34 persen, agen/reseller 32 persen, market place 15 persen, serta penjualan daring melalui media sosial 54 persen.
Seperti sudah bisa ditebak, penurunan penjualan terdalam yaitu lebih dari 75 persen adalah usaha yang dijalankan melalui toko fisik, yang kemudian diikuti berturut-turut oleh penjualan daring dan penjualan daring sekaligus luring (kombinasi keduanya).
Belum lagi terkejut dengan fakta tersebut, persepsi pelaku UMKM juga begitu pesimis. Sekitar 72 persen berpikir usaha akan tutup pada November 2020 dan 85 persen berpikir akan bertahan paling lama satu tahun sejak pandemi, atau sekitar Maret 2021.
Survei pada tataran makro tersebut diperkuat dengan kondisi yang sesungguhnya pada tataran mikro, yang lebih sempit cakupannya. Sebut saja sebuah usaha batik di daerah Sukoharjo, yang mengaku tidak menghasilkan penjualan sejak April 2020.
Selain karena pandemi yang memaksa toko fisik ditutup karena tidak ada pembeli, penjualan daring melalui media sosial juga tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tim dari Pusat Studi Kewirausahaan LPPM Universitas Tarumanagara mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi UMKM ini.
Setelah berdialog intensif dengan pemilik usaha, maka dapat dirumuskan lima hal utama permasalahan yang dihadapi, yaitu:
Adaptasi daring
Berdasarkan identifikasi tersebut tim dari pusat studi menawarkan dua solusi utama. Solusi yang dapat ditawarkan adalah menekankan pada aspek manajerial dan teknologi pemasaran.
Hal-hal serupa juga dihadapi oleh UMKM lain, walau ada pula yang mulai terbelit kredit dan tidak bisa mengangsur pinjaman karena penjualan merosot drastis.
Peningkatan aspek manajerial mitra dilakukan melalui pendampingan di bidang manajemen pemasaran, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia dan manajemen produksi/operasi.
Pelaku UMKM memerlukan mitra untuk membantu menyusun strategi pemasaran digital, mengelola keuangan di masa krisis seperti saat ini, membina sumber daya manusia dalam hal keterampilan teknologi informasi untuk mendukung bisnis di platform digital, serta membantu menciptakan produk ready-to-wear yang lebih sesuai dengan selera konsumen di era Revolusi Industri 4.0.
Pada aspek teknologi pemasaran diperlukan penguatan pemasaran dengan sistem informasi bagi pelaku UMKM.
Mereka memerlukan bantuan mengembangkan website yang dapat digunakan untuk menyediakan informasi bagi calon konsumen serta melakukan transaksi jual beli secara daring.
Perlu juga pendampingan dalam pengelolaan website agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan mendorong terciptanya less contact economy.
Penggunaan media sosial yang selama ini telah dijalankan, tetap dipertahankan namun diperkuat dengan pemanfaatan website yang link-nya terhubung dengan media tersebut.
Tentu tidak mudah mengelola website bagi UMKM yang memiliki keterbatasan pendanaan.
Di sinilah peran akademisi diperlukan untuk membantu membangun website melalui kegiatan penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat yang menargetkan luaran berupa teknologi tepat guna bagi mitra.
Memang, adaptasi UMKM diarahkan pada penerapan bisnis daring. Pilihan terbaik pada situasi terkini, walau itu tidak mudah.
Pada usaha korporasi besar pun, pemasukan daring belum dapat menggantikan pemasukan luring yaitu toko fisik.
Masyarakat kita sendiri belum sepenuhnya bisa mengadopsi kebiasaan baru ini.
Beradaptasi secara bertahap adalah langkah paling realistis bagi UMKM sebelum sepenuhnya bertransformasi menjadi UMKM digital. Paling tidak bertahan pada situasi kini hingga kemudian bangkit setelah melewati krisis yang dahsyat ini.
Transformasi digital rasanya bukan lagi menjadi pilihan, tetapi sebuah keharusan yang perlu disiapkan dalam waktu tidak terlalu lama.
Untuk bisa mulus beradaptasi, UMKM tentu tidak bisa berjalan sendiri. Perlu ada sinergi A-B-C-G-M (akademisi, badan usaha, komunitas, pemerintah, dan media) untuk bisa membuat UMKM kembali bangkit dan bertransformasi menjadi usaha yang lebih tangguh di masa depan.
Frangky Selamat
Hetty Karunia Tunjungsari
Dosen tetap Program Studi Sarjana Manajemen FEB Universitas Tarumanagara
https://money.kompas.com/read/2020/09/15/153135926/adaptasi-umkm-menuju-bisnis-daring